Terik mentari menyambut jiwa yang bangkit dari tidur malamnya.
Seperti biasa diceknya hp sebelum pergi ke kamar mandi dan seperti biasa
pula pasti ada sms dari kekasihnya, “Selamat pagi, sayang. Senin
ceria.” Dengan senyum lebar diwajahnya dia bergegas ke kamar mandi dan
sesegera mungkin Dia mempersiapkan diri. Dia merasa sudah amat sangat
bersemangat untuk melakukan aktivitas hari ini terlebih bonus yang
sangat hebat dapat melihat wajah kekasihnya. Sudah satu minggu Dia tak
bersua dengan kekasihnya.
Dilihatnya jam ditangannya yang menujukkan pukul 06:25. Dia sudah tak sabar bertemu dengan kekasihnya setelah 1 minggu tak bertemu. Dia benar-benar tak sabar, gregetan, gemas, untuk mengoyak-ngoyak wajah kekasihnya. Diceknya hp berkali-kali. Tak ada satupun sms dan miscall. Dia mondar-mandir sambil plonga-plongo sesekali dilihat jam yang melingkar di tangan kirinya.
Tiba-tiba, “Assalamualaikum,” salam seseorang yang berhenti di depannya.
“Wa’alaikumslam,” jawabnya. “Lama amat, huh!” gerutunya.
“Ma’af, tadi kesiangan soalnya kau baru nyampe jam 3 tadi,” jawab Miko. “Dia sayang, jangan cemberut gitu dong! Ayo naik! Entar keburu telat deh,” ajaknya dengan penuh perhatian.
Dilemparnya remasan kertas ke wajah kekasihnya dengan nada bergurau, Dia hanya tersenyum. Dalam hatinya Dia bersyukur karena kekasihnya ini masih seperti 1 minggu sebelum mereka harus dipisahkan jarak Malang-Pamekasan. Oleh-oleh terindah yang Dia minta adalah kepulangan Miko dengan selamat.
“Sayang, aku punya oleh-oleh buat kamu,” kata Miko bersama terpaan angin.
“Apa?” tanyanya.
“Hatiku,” jawabnya.
“Wek wek,” jawab Dia tersenyum.
Mereka benar menikmati segarnya angin pagi itu. Dihirupnya angin di pedesaan dalam-dalam, pelan-pelan masuk krongkongan mengalir masuk ke rongga dada, Subhanallah, nikmat Allah. Senyum lebar terlukis di wajah mereka masing-masing. Sakit rindu selama 1 minggu tanpa komunikasi sekarang sudah terobati.
“Wuah.. telat deh!” gerutu Dia sambil mengerutkan kening.
“Nggak papa, sayang,” jawab Miko. “Yang penting kita selalu bersama,” tambahnya.
Dia hanya manyun sembari mencoba membuka pintu gerbang yang sudah tegembok. Mikopun mencoba membuka tapi sialnya pintu sudah tergembok dengan pasti. Mereka bingung cara masuk ke sekolah. Dalam pikiran Miko mungkin dengan loncat pagar tapi Dia tak mungkin diajaknya. Miko terus mencari cara. Digoyangkannya pitu gerbang yang terbuat dari besi sehingga berbunyi. Dengan kompak Dia juga ikut menggoyangkan gerbang.
“Jangan manyun terus! Masih pagi, sayang. Senin ceria,” kata Miko.
Dia hanya tersenyum. Merekapun saling tersenyum dan tertawa bersama. Tiba-tiba seseorang yang tak asing dari arah lapangan menghampiri Dia dan Miko. Alis tebal, kepala tak berambut, dan kumis panjang yang letik serta mata yang melotot, siapa yang punya kalau bukan Pak Rohim.
“Heh, mau bikin pintu rusak? Anak dua ini memang minta dihukum. Unyil-unyil sudah berani datang terlambat. Upacara sudah selesai 15 menit yang lalu,” sontak Pak Rohim.
“Hehe..” jawab Miko nyengir.
“Ayo kalian berdua ikut saya!” pinta Pak Rohim.
Mereka berdua mengikuti Pak Rohim sambil ribut-ribut kecil. Sesekali Pak Rohim menegur tapi mereka malah senyum-senyum. Ternyata Pak Rohim menuju toilet siswa yang baunya naudzubillah. Menyusuri ruang-ruang kelas menuju toilet sudah membuat mereka mengerutkan dahi dan menutup hidung.
Merekapun membersihkan toilet. Menguras sampai mengepel. Keringat mengucur deras membasahi seragam mereka. Namun mereka menikmati pekerjaan mereka. Anggap saja training untuk nanti jika mereka menikah. Kurang lebih 2 jam mereka dapat menyeesaikan hukuman mereka. Wajah layu dan bau keringat membuat mereka menjadi bahan lelucon saat memasuki kelas masing-masing.
Tik.. tik.. tik.. waktu mengalir begitu cepat rasanya untuk mereka. Miko harus melanjutkan sekolahnya keluar kota, tepatnya di Bogor. Cerita mereka di masa putih abu-abu akan tinggal kenangan karena tinggal Dia di sekolah itu.
Sudah 3 hari keberangkatan Miko ke Bogor namun rasanya sudah berbulan-bulan. Malam ini malam Minggu biasanya Miko ke rumah Dia atau mereka telponan. Sayangnya, malam ini Dia harus menikmati malam minggu seorang diri dengan rasa rindu yang sangat dalam. Dia hanya dapat menatap foto Miko berbingkai pita merah yang dibuatnya sendiri. Menatapnya dalam-dalam sembari meraba wajah manis yang tersenyum. Diceknya pula hp beberapa kali namun belum ada obat untuk kerinduannya.
Dia masih menatap foto Miko dan tanpa disadarinya air matanya menetes membasahi foto kekasihnya. Tiba-tiba hpnya berdering bertanda ada sms dengan segera dibukanya sms itu. Perlahan-lahan terlukis senyum diwajahnya. Dibacanya sms itu berulang kali. Didekapnya mesra sambil berguling-guling di kasur. Setelah membaca sms itu Diapun dapat tidur dengan nyaman.
1 tahun pun berlalu.
Senin yang tak seceria dulu. Dia mengikuti upacara dan tak telat sehingga tak perlu menggoyangkan gerbang dan kemudian akan dihukum Pak Rohim. Ditatapnya gerbang yang tak pernah berubah sejak 1 tahun yang lalu. Perlahan seperti ada sosok Miko dan dirinya di gerbang itu. Rayuan Miko yang menghiburnya karena terlambat, tawa mereka yang lepas, ekspresi wajah saat Pak Rohim datang dan menghukum mereka membersihkan toilet. Tanpa disadari Dia lupa tak membawa topi dan ujung-ujungnya Diapun dihukum, toilet lagi.
Diraihnya kain pel perlahan lalu diusapkannya pada lantai walau sambil melamun. Dia terus melamunkan sosok Miko saat mereka dihukum bersama di tempat itu 1 tahun silam.
Tiba-tiba, “Bruk!” seorang siswa terjatuh dan kemudian pingsan.
Cepat-cepat Dia sadar dari lamunannya dan segera mencari pertolongan. Pak Rohim yang kala itu melewati toilet berlari bermaksud untuk menolong namun sialnya, gubrak, Pak Rohim juga terpeleset. Ujung-ujungnya hukuman Dia bertambah. Dia harus menyapu lapangan bola yang kotornya luar biasa dan bukan hanya itu, ukuran luasnya yang super.
Dengan tampang pasrah disapunya lapangan dan kali ini dia tak lagi melamun. Namun baru setengah lapangan tenaganya terkuras habis, dia bermaksud berhenti sejenak untuk istirahat. Diselonjorkannya kaki di hamparan rumput, diusapnya keringat di wajahnya dengan telapak tangan yang merah.
“Ini,” seru seseorang di sampingnya menyodorkan sapu tangan.
Dengan segera dia menoleh arah sapu tangan itu berada. Dilihatnya perlahan dari tangan yang memegang sapu tangan, lengan yang memakai kaos putih hingga senyum yang tak sedikitpun berubah. Dia tersenyum lebar merasa tak percaya bahwa itu kenyataan. Dicubitnya pipinya dan, “Aw.. sakit.”
“Ciluk… ba,” kata orang itu, “Rajin amat, sayang, sampe nyapu lapangan.”
“Ini kamu bukan sih, mas?” tanya Dia memastikan.
“Iya, sayangku, cintaku. Nih, minum!” jawab Miko gemas lalu diambilnya sapu dan disapunya lapangan.
“Mas, kamu mau ngapain?” tanya Dia bermaksud mencegah.
“Udah! Diaku yang cantik, duduk manis disitu biar abang Miko yang nyapu nih lapangan,” kata Miko.
Dipandangnya Miko yang masih menyapu dengan kaku. Miko sembari bertingkah aneh dengan sapu yang dipegangnya hingga membuat Dia tertawa lepas. Rasa lelah, rindu, galau, semuanya terasa lenyap. Beban berat yang Dia pikul seolah terasa ringan. Hahaha..
3 tahun berlalu..
Sayang, abang sudah ada di depan rumahmu, sms Miko membangkitkan Dia dari depan laptopnya. Dia sekarang adalah mahasiswa Universitas Negeri di Pamekasan jurusan Sastra Jepang semester 5. Dan Miko adalah mahasiswa lulusan Kedokteran Hewan di IPB.
Dibukanya pintu perlahan sambil ditatapnya wajah dibalik tirai gorden putih transparan.
“Assalamu’alaikum,” salam Miko.
“Wa’alaikumsalam,” jawab Dia. “Kapan balik, mas? Kenapa nggak bilang-bilang?” tanya Dia.
“Suprise..,” jawab Miko cengar-cengir.
Mendadak wajah Dia murung. Sepertinya ada yang akan Dia sampaikan kepada Miko. Dia masih bingung dari mana dia harus memulai. Diremas-remas tangannya sesekali digigit bibirnya. Akhirnya diapun bersua, “Mas, aku dapat beasiswa di Jepang, bulan depan aku berangkat.”
“Benarkah, sayang? Aku bangga sama kamu. Selamat iya, sayang,” tukas Mika binar.
Dia tak menyangka Miko akan berespon seperti itu. 4 tahun Miko hijrah ke Bogor yang membuat mereka hanya dapat bertemu satu bulan sekali dan sekarang Dia harus studi ke Jepang selama 2 tahun. Beraneka macam pikiran menguak dalam pikiran Dia.
“Sayang, kenapa melamun? Aku ingin mengatakan sesuatu,” kata Miko.
“Apa?” tanya Dia.
“Aku mendapat tawaran bekerja di rumah sakit di Jepang,” jawabnya dengan senyum lebar, “dan kita bisa bersama seperti 4 tahun silam.”
Mereka bercanda, tertawa bahagia, mengingat masa-masa saat lugu di putih abu-abu dulu.
2 tahun di Jepang dan Dia sudah lulus studinya, 2 minggu lagi Dia akan meninggalkan Tokyo.
Pagi yang sejuk, mentari masih malu-malu untuk menampakkan diri. Di beranda lantai 2 kosan Dia menikmati dengan penuh bahagia. Pagi ini pagi spesial di bulan ini karena sakura berwarna pink. Bunga sakura tidaklah lama berkembang terus, cepat sekali bungannya runtuh dan berganti daun yang baru bersemi lagi. Orang jepang aan merayakannya yang biasa disebut Hanami. Hanami dapat diartikan dengan melihat atau memandang bunga. Indahnya kota Tokyo dengan hamparan pink.
“Assalamu’alaikum.. Sayang… Sini!” teriak Miko di lantai bawah.
“Wassaamu’alaikum,” aku jawab salamnya dan segera turun menemui Miko.
Kita jalan-jalan menelusuri indahnya hamparan pink Tokyo. Miko berlelucon menggunakan Bahasa Indonesia dan mereka tertawa terkikik sementara pejalan kaki yang lain memandangi mereka dengan tatapan aneh.
Setiap pagi Dia dan Miko memang selalu menjadi pusat perhatian. Saat berkomunikasi maupun bertemu mereka selalu menggunakan bahasa asalnya, mungkin sudah terlalu cinta dan rindu dengan Indonesia.
“Biarin deh mereka bingung! Jepang milik kita berdua,” tukas Miko kepada Dia.
Di taman kota yang bernuansa pink dan super romantis disana Dia dan Miko duduk di sebuah kursi besi yang berat berwarna coklat.
“Wah, bagus ya, mas,” kata Dia kagum sembari melihat disekelilingnya.
“Dia, sayang..,” panggil Miko dengan nada serius.
“Iya. Apa, mas?” sahutnya.
“Ma’afkan aku harus mengatakannya sekarang dan di tempat ini,” kata Miko serentak mengacaukan pikiran Dia.
“Memang, mas, mau bilang apa?” tanya Dia dengan kebingungannya.
“Em.. em… em…,” jawab Miko tersendat-sendat, “Sepertinya cerita ini harus berakhir,” lanjut Miko dengan wajah layu.
“Cerita? Yang mana?” tanya Dia semakin tak mengerti. “Tentang kita,” lanjutnya,
“Masudnya pu…tus?” tanya Dia dengan nada pelan.
Miko mengangguk.
Anggukan itu sontak membuat jiwa dan raga Dia rapuh, hatinya hancur berkeping-keping, dunia seolah berhenti berputar. Dirabanya dadanya, detak jantung yang kacau balau. Cerita yang dirajutnya sejak 10 tahun silam akan berakhir pilu dan membekaskan luka teramat da…. lam.
“Aku mencintai seorang wanita, aku sangat menyayanginya, ibuku telah melamarnya untukku. Dan aku ingin mengakhiri hubungan kita karena aku akan segera menikah,” tambah Miko, yang membuat Dia benar-benar terluka.
Bagaimanapun Dia hanyalah seorang wanita, dari matanya mengalir air, kecewa.
“Baiklah. Semoga pilihanmu tepat. Jangan sakiti dia! Semoga kamu bahagia,” katanya tersengal-sengal dan air matanya terus mengalir bagai hujan deras. “Ma’af, aku harus pergi!” Dia berlari menjauh dari Miko.
“Dia, tunggu! Jangan pergi! Sayang, berhenti!” panggil Miko mengejarnya.
Dia mendengar panggilan Miko namun kali ini suaranya seperti pisau yang siap mengiris-iris, mengoyak-ngoyak, mencincang-cincang perasaanya. Cekukan tangisnya semakin keras.
Miko terus mengejar dan meminta Dia berhenti namun dihiraukan. Akhirnya Miko berhasil meraih Dia lalu segera dipeluknya. Dia yang tak berdaya mencoba melepaskan diri dari dekapan Miko, dipukulnya Miko semampu Dia bisa. Seerat mungkin didekapnya Dia didadanya.
“Kamu tahu wanita itu siapa?” tanya Miko.
Dia tak menjawab, dia hanya menangis semakin kencang.
“Wanita itu kamu. Aku ingin cerita pacaran kita berakhir karena aku ingin kita menikah, memulai cerita baru yang lebih indah,” tukas Miko.
Dia tak menjawab, Dia masih terus menangis.
“Kenapa masih nangis aja? Cengeng!!! Katanya udah gede?” ledek Miko.
“Jahat!” jawab Dia.
“Ma’af iya, sayang,” kata Miko.
“Kakiku jangan di injak!” pinta Dia.
Dengan segera Miko memindahkan kakinya, “Wuahhha… kenapa baru bilang?”
Merekapun kembali ke Indonesia dan menikah. Teman-teman SMP dan Pak Rohim serta guru SMA mereka datang, teman kuliah mereka, rekan kerja mereka, dan semua keluarga besar. Semua orang turut bahagia.
5 tahun berlalu…
Sekarang mereka liburan ke Jepang sembari bernostalgia. Mereka dikaruniai seorang putri, namanya Iveni. Iveni berumur 4 tahun. Iveni cantik seperti mamanya. Mereka bertiga menikmati hangatnya kebersamaan di taman kota Tokyo. Tempat bersejarah untuk Dia dan Miko. Keluarga kecil yang bahagia sedang menikmati Hanami, bunga sakura.
Cerpen Karangan: Fani Desy Lestary
Dilihatnya jam ditangannya yang menujukkan pukul 06:25. Dia sudah tak sabar bertemu dengan kekasihnya setelah 1 minggu tak bertemu. Dia benar-benar tak sabar, gregetan, gemas, untuk mengoyak-ngoyak wajah kekasihnya. Diceknya hp berkali-kali. Tak ada satupun sms dan miscall. Dia mondar-mandir sambil plonga-plongo sesekali dilihat jam yang melingkar di tangan kirinya.
Tiba-tiba, “Assalamualaikum,” salam seseorang yang berhenti di depannya.
“Wa’alaikumslam,” jawabnya. “Lama amat, huh!” gerutunya.
“Ma’af, tadi kesiangan soalnya kau baru nyampe jam 3 tadi,” jawab Miko. “Dia sayang, jangan cemberut gitu dong! Ayo naik! Entar keburu telat deh,” ajaknya dengan penuh perhatian.
Dilemparnya remasan kertas ke wajah kekasihnya dengan nada bergurau, Dia hanya tersenyum. Dalam hatinya Dia bersyukur karena kekasihnya ini masih seperti 1 minggu sebelum mereka harus dipisahkan jarak Malang-Pamekasan. Oleh-oleh terindah yang Dia minta adalah kepulangan Miko dengan selamat.
“Sayang, aku punya oleh-oleh buat kamu,” kata Miko bersama terpaan angin.
“Apa?” tanyanya.
“Hatiku,” jawabnya.
“Wek wek,” jawab Dia tersenyum.
Mereka benar menikmati segarnya angin pagi itu. Dihirupnya angin di pedesaan dalam-dalam, pelan-pelan masuk krongkongan mengalir masuk ke rongga dada, Subhanallah, nikmat Allah. Senyum lebar terlukis di wajah mereka masing-masing. Sakit rindu selama 1 minggu tanpa komunikasi sekarang sudah terobati.
“Wuah.. telat deh!” gerutu Dia sambil mengerutkan kening.
“Nggak papa, sayang,” jawab Miko. “Yang penting kita selalu bersama,” tambahnya.
Dia hanya manyun sembari mencoba membuka pintu gerbang yang sudah tegembok. Mikopun mencoba membuka tapi sialnya pintu sudah tergembok dengan pasti. Mereka bingung cara masuk ke sekolah. Dalam pikiran Miko mungkin dengan loncat pagar tapi Dia tak mungkin diajaknya. Miko terus mencari cara. Digoyangkannya pitu gerbang yang terbuat dari besi sehingga berbunyi. Dengan kompak Dia juga ikut menggoyangkan gerbang.
“Jangan manyun terus! Masih pagi, sayang. Senin ceria,” kata Miko.
Dia hanya tersenyum. Merekapun saling tersenyum dan tertawa bersama. Tiba-tiba seseorang yang tak asing dari arah lapangan menghampiri Dia dan Miko. Alis tebal, kepala tak berambut, dan kumis panjang yang letik serta mata yang melotot, siapa yang punya kalau bukan Pak Rohim.
“Heh, mau bikin pintu rusak? Anak dua ini memang minta dihukum. Unyil-unyil sudah berani datang terlambat. Upacara sudah selesai 15 menit yang lalu,” sontak Pak Rohim.
“Hehe..” jawab Miko nyengir.
“Ayo kalian berdua ikut saya!” pinta Pak Rohim.
Mereka berdua mengikuti Pak Rohim sambil ribut-ribut kecil. Sesekali Pak Rohim menegur tapi mereka malah senyum-senyum. Ternyata Pak Rohim menuju toilet siswa yang baunya naudzubillah. Menyusuri ruang-ruang kelas menuju toilet sudah membuat mereka mengerutkan dahi dan menutup hidung.
Merekapun membersihkan toilet. Menguras sampai mengepel. Keringat mengucur deras membasahi seragam mereka. Namun mereka menikmati pekerjaan mereka. Anggap saja training untuk nanti jika mereka menikah. Kurang lebih 2 jam mereka dapat menyeesaikan hukuman mereka. Wajah layu dan bau keringat membuat mereka menjadi bahan lelucon saat memasuki kelas masing-masing.
Tik.. tik.. tik.. waktu mengalir begitu cepat rasanya untuk mereka. Miko harus melanjutkan sekolahnya keluar kota, tepatnya di Bogor. Cerita mereka di masa putih abu-abu akan tinggal kenangan karena tinggal Dia di sekolah itu.
Sudah 3 hari keberangkatan Miko ke Bogor namun rasanya sudah berbulan-bulan. Malam ini malam Minggu biasanya Miko ke rumah Dia atau mereka telponan. Sayangnya, malam ini Dia harus menikmati malam minggu seorang diri dengan rasa rindu yang sangat dalam. Dia hanya dapat menatap foto Miko berbingkai pita merah yang dibuatnya sendiri. Menatapnya dalam-dalam sembari meraba wajah manis yang tersenyum. Diceknya pula hp beberapa kali namun belum ada obat untuk kerinduannya.
Dia masih menatap foto Miko dan tanpa disadarinya air matanya menetes membasahi foto kekasihnya. Tiba-tiba hpnya berdering bertanda ada sms dengan segera dibukanya sms itu. Perlahan-lahan terlukis senyum diwajahnya. Dibacanya sms itu berulang kali. Didekapnya mesra sambil berguling-guling di kasur. Setelah membaca sms itu Diapun dapat tidur dengan nyaman.
1 tahun pun berlalu.
Senin yang tak seceria dulu. Dia mengikuti upacara dan tak telat sehingga tak perlu menggoyangkan gerbang dan kemudian akan dihukum Pak Rohim. Ditatapnya gerbang yang tak pernah berubah sejak 1 tahun yang lalu. Perlahan seperti ada sosok Miko dan dirinya di gerbang itu. Rayuan Miko yang menghiburnya karena terlambat, tawa mereka yang lepas, ekspresi wajah saat Pak Rohim datang dan menghukum mereka membersihkan toilet. Tanpa disadari Dia lupa tak membawa topi dan ujung-ujungnya Diapun dihukum, toilet lagi.
Diraihnya kain pel perlahan lalu diusapkannya pada lantai walau sambil melamun. Dia terus melamunkan sosok Miko saat mereka dihukum bersama di tempat itu 1 tahun silam.
Tiba-tiba, “Bruk!” seorang siswa terjatuh dan kemudian pingsan.
Cepat-cepat Dia sadar dari lamunannya dan segera mencari pertolongan. Pak Rohim yang kala itu melewati toilet berlari bermaksud untuk menolong namun sialnya, gubrak, Pak Rohim juga terpeleset. Ujung-ujungnya hukuman Dia bertambah. Dia harus menyapu lapangan bola yang kotornya luar biasa dan bukan hanya itu, ukuran luasnya yang super.
Dengan tampang pasrah disapunya lapangan dan kali ini dia tak lagi melamun. Namun baru setengah lapangan tenaganya terkuras habis, dia bermaksud berhenti sejenak untuk istirahat. Diselonjorkannya kaki di hamparan rumput, diusapnya keringat di wajahnya dengan telapak tangan yang merah.
“Ini,” seru seseorang di sampingnya menyodorkan sapu tangan.
Dengan segera dia menoleh arah sapu tangan itu berada. Dilihatnya perlahan dari tangan yang memegang sapu tangan, lengan yang memakai kaos putih hingga senyum yang tak sedikitpun berubah. Dia tersenyum lebar merasa tak percaya bahwa itu kenyataan. Dicubitnya pipinya dan, “Aw.. sakit.”
“Ciluk… ba,” kata orang itu, “Rajin amat, sayang, sampe nyapu lapangan.”
“Ini kamu bukan sih, mas?” tanya Dia memastikan.
“Iya, sayangku, cintaku. Nih, minum!” jawab Miko gemas lalu diambilnya sapu dan disapunya lapangan.
“Mas, kamu mau ngapain?” tanya Dia bermaksud mencegah.
“Udah! Diaku yang cantik, duduk manis disitu biar abang Miko yang nyapu nih lapangan,” kata Miko.
Dipandangnya Miko yang masih menyapu dengan kaku. Miko sembari bertingkah aneh dengan sapu yang dipegangnya hingga membuat Dia tertawa lepas. Rasa lelah, rindu, galau, semuanya terasa lenyap. Beban berat yang Dia pikul seolah terasa ringan. Hahaha..
3 tahun berlalu..
Sayang, abang sudah ada di depan rumahmu, sms Miko membangkitkan Dia dari depan laptopnya. Dia sekarang adalah mahasiswa Universitas Negeri di Pamekasan jurusan Sastra Jepang semester 5. Dan Miko adalah mahasiswa lulusan Kedokteran Hewan di IPB.
Dibukanya pintu perlahan sambil ditatapnya wajah dibalik tirai gorden putih transparan.
“Assalamu’alaikum,” salam Miko.
“Wa’alaikumsalam,” jawab Dia. “Kapan balik, mas? Kenapa nggak bilang-bilang?” tanya Dia.
“Suprise..,” jawab Miko cengar-cengir.
Mendadak wajah Dia murung. Sepertinya ada yang akan Dia sampaikan kepada Miko. Dia masih bingung dari mana dia harus memulai. Diremas-remas tangannya sesekali digigit bibirnya. Akhirnya diapun bersua, “Mas, aku dapat beasiswa di Jepang, bulan depan aku berangkat.”
“Benarkah, sayang? Aku bangga sama kamu. Selamat iya, sayang,” tukas Mika binar.
Dia tak menyangka Miko akan berespon seperti itu. 4 tahun Miko hijrah ke Bogor yang membuat mereka hanya dapat bertemu satu bulan sekali dan sekarang Dia harus studi ke Jepang selama 2 tahun. Beraneka macam pikiran menguak dalam pikiran Dia.
“Sayang, kenapa melamun? Aku ingin mengatakan sesuatu,” kata Miko.
“Apa?” tanya Dia.
“Aku mendapat tawaran bekerja di rumah sakit di Jepang,” jawabnya dengan senyum lebar, “dan kita bisa bersama seperti 4 tahun silam.”
Mereka bercanda, tertawa bahagia, mengingat masa-masa saat lugu di putih abu-abu dulu.
2 tahun di Jepang dan Dia sudah lulus studinya, 2 minggu lagi Dia akan meninggalkan Tokyo.
Pagi yang sejuk, mentari masih malu-malu untuk menampakkan diri. Di beranda lantai 2 kosan Dia menikmati dengan penuh bahagia. Pagi ini pagi spesial di bulan ini karena sakura berwarna pink. Bunga sakura tidaklah lama berkembang terus, cepat sekali bungannya runtuh dan berganti daun yang baru bersemi lagi. Orang jepang aan merayakannya yang biasa disebut Hanami. Hanami dapat diartikan dengan melihat atau memandang bunga. Indahnya kota Tokyo dengan hamparan pink.
“Assalamu’alaikum.. Sayang… Sini!” teriak Miko di lantai bawah.
“Wassaamu’alaikum,” aku jawab salamnya dan segera turun menemui Miko.
Kita jalan-jalan menelusuri indahnya hamparan pink Tokyo. Miko berlelucon menggunakan Bahasa Indonesia dan mereka tertawa terkikik sementara pejalan kaki yang lain memandangi mereka dengan tatapan aneh.
Setiap pagi Dia dan Miko memang selalu menjadi pusat perhatian. Saat berkomunikasi maupun bertemu mereka selalu menggunakan bahasa asalnya, mungkin sudah terlalu cinta dan rindu dengan Indonesia.
“Biarin deh mereka bingung! Jepang milik kita berdua,” tukas Miko kepada Dia.
Di taman kota yang bernuansa pink dan super romantis disana Dia dan Miko duduk di sebuah kursi besi yang berat berwarna coklat.
“Wah, bagus ya, mas,” kata Dia kagum sembari melihat disekelilingnya.
“Dia, sayang..,” panggil Miko dengan nada serius.
“Iya. Apa, mas?” sahutnya.
“Ma’afkan aku harus mengatakannya sekarang dan di tempat ini,” kata Miko serentak mengacaukan pikiran Dia.
“Memang, mas, mau bilang apa?” tanya Dia dengan kebingungannya.
“Em.. em… em…,” jawab Miko tersendat-sendat, “Sepertinya cerita ini harus berakhir,” lanjut Miko dengan wajah layu.
“Cerita? Yang mana?” tanya Dia semakin tak mengerti. “Tentang kita,” lanjutnya,
“Masudnya pu…tus?” tanya Dia dengan nada pelan.
Miko mengangguk.
Anggukan itu sontak membuat jiwa dan raga Dia rapuh, hatinya hancur berkeping-keping, dunia seolah berhenti berputar. Dirabanya dadanya, detak jantung yang kacau balau. Cerita yang dirajutnya sejak 10 tahun silam akan berakhir pilu dan membekaskan luka teramat da…. lam.
“Aku mencintai seorang wanita, aku sangat menyayanginya, ibuku telah melamarnya untukku. Dan aku ingin mengakhiri hubungan kita karena aku akan segera menikah,” tambah Miko, yang membuat Dia benar-benar terluka.
Bagaimanapun Dia hanyalah seorang wanita, dari matanya mengalir air, kecewa.
“Baiklah. Semoga pilihanmu tepat. Jangan sakiti dia! Semoga kamu bahagia,” katanya tersengal-sengal dan air matanya terus mengalir bagai hujan deras. “Ma’af, aku harus pergi!” Dia berlari menjauh dari Miko.
“Dia, tunggu! Jangan pergi! Sayang, berhenti!” panggil Miko mengejarnya.
Dia mendengar panggilan Miko namun kali ini suaranya seperti pisau yang siap mengiris-iris, mengoyak-ngoyak, mencincang-cincang perasaanya. Cekukan tangisnya semakin keras.
Miko terus mengejar dan meminta Dia berhenti namun dihiraukan. Akhirnya Miko berhasil meraih Dia lalu segera dipeluknya. Dia yang tak berdaya mencoba melepaskan diri dari dekapan Miko, dipukulnya Miko semampu Dia bisa. Seerat mungkin didekapnya Dia didadanya.
“Kamu tahu wanita itu siapa?” tanya Miko.
Dia tak menjawab, dia hanya menangis semakin kencang.
“Wanita itu kamu. Aku ingin cerita pacaran kita berakhir karena aku ingin kita menikah, memulai cerita baru yang lebih indah,” tukas Miko.
Dia tak menjawab, Dia masih terus menangis.
“Kenapa masih nangis aja? Cengeng!!! Katanya udah gede?” ledek Miko.
“Jahat!” jawab Dia.
“Ma’af iya, sayang,” kata Miko.
“Kakiku jangan di injak!” pinta Dia.
Dengan segera Miko memindahkan kakinya, “Wuahhha… kenapa baru bilang?”
Merekapun kembali ke Indonesia dan menikah. Teman-teman SMP dan Pak Rohim serta guru SMA mereka datang, teman kuliah mereka, rekan kerja mereka, dan semua keluarga besar. Semua orang turut bahagia.
5 tahun berlalu…
Sekarang mereka liburan ke Jepang sembari bernostalgia. Mereka dikaruniai seorang putri, namanya Iveni. Iveni berumur 4 tahun. Iveni cantik seperti mamanya. Mereka bertiga menikmati hangatnya kebersamaan di taman kota Tokyo. Tempat bersejarah untuk Dia dan Miko. Keluarga kecil yang bahagia sedang menikmati Hanami, bunga sakura.
Cerpen Karangan: Fani Desy Lestary
Tidak ada komentar:
Posting Komentar