“Nar, ayolah buat apa kita bayar mahal mahal untuk nonton pertandingan dia kalau cuma buat duduk di paling ujung sini? Nanggung.” Rena, satu-satunya pendamping setiaku dalam melewati ritual ini – mulai berorasi. Seperti biasa. Selalu ogah-ogahan untuk menaruh pantatnya saat lagi lagi aku memilih kursi paling ujung.
Aku hanya senyum simpul, menimpalinya. Juga seperti biasa. “Nggak pa-palah Ren, dari sini kan juga masih kelihatan.”
“Kelihatan apanya? Kelihatan tu punggung orang tua bangka?”
Aku menyahutnya masih dengan sebuah senyuman. Hanya senyuman. Aku paling tidak bisa untuk banyak bicara jika itu menyangkut dengan perasaanku. Perasaan? Ya, pertandingan ini sangat erat hubungannya dengan sesuatu yang entah apa namanya selalu menjalar di perasaanku. Sesuatu yang selalu aku coba untuk menyembunyikannya rapat-rapat. Untuk kunikmati sendiri.
“Sinar, kali ini aja gue mohon loe jawab pertanyaan gue. Apa bedanya sih duduk di tengah sana sama duduk di sini? Kalo memang loe suka sama dia, harusnya loe lebih berani dong buat deketin diri loe kesana.” Rena tidak mau kalah. Selalu saja ia menghujaniku dengan pertanyaan serupa. Lalu aku lagi lagi hanya menyengir. Membuatnya terlihat geram di sepanjang pertandingan.
Rena tidak tahu. Rena tidak tahu betapa aku tidak hanya mengidolakannya. Bukan juga sekedar menyukainya, menyerukan namanya, mengagung-agungkannya seperti yang kebanyakan wanita lakukan di kerumunan ini. Aku tidak sesederhana itu.
Nama Guntur jauh lebih dulu mengawang di pikiranku, menggetarkan gendang-gendang di telingaku sebelum begitu di sorak-sorakkan di gedung ini. Aku jauh lebih lama mengenalnya dibandingkan wanita-wanita yang tidak tahu menahu itu.
Hidupku berdampingan dengan hidupnya sejak kami masih sama sama kecil. Dari dulu, aku sudah terbiasa melihat peraduannya dengan kok. Aku begitu hafal lekukan lekukan tangannya dalam mengendalikan raket. Aku menjadi salah satu penonton setianya saat ia selalu meramaikan sore dengan pertandingan antar kampung. Dan seperti sekarang ini, aku selalu menikmati aksinya dengan caraku sendiri. Dengan caraku yang tidak banyak bicara di ujung gang. Dari sinilah, sesuatu itu perlahan-lahan mulai tumbuh. Menjalari perasaanku. Yang bahkan sampai sekarang aku tidak bisa mendeskripsikan apa nama “sesuatu” itu.
Guntur mengenalku. Bahkan ia pernah suatu hari memintaku untuk mengajarinya pelajaran matematika dengan belajar kelompok bersamanya. Tapi aku menolak. Selalu menolak. Meski masih di usia anak-anak, nyatanya aku sudah tahu apa yang harus aku lakukan terhadapnya. Terhadap seorang calon superstar yang jika aku berada sedikit saja di dekatnya itu bisa membuatku tak henti-hentinya bermimpi. Bermimpi terhadap sesuatu yang pada akhirnya aku yakin akan membuatku jatuh.
Itu filosofi yang sampai sekarang masih terus kugunakan. Yang tidak akan pernah dimengerti oleh Rena atau siapapun. Filosofi jika aku berada di dekatnya itu sama artinya dengan membiarkanku dengan bahayanya terbang bersama kedua tongkat penyangga ini ke alam mimpi. Alam mimpi seorang lelaki tampan nyaris sempurna yang tidak layak diselami oleh gadis cacat sepertiku. Terlalu beresiko untuk jatuh dan sakit. Aku tidak siap untuk itu. Jadi selamanya aku hanya akan di ujung sini. Menikmati perasaan ini. Dengan caraku sendiri.
“Service oper, 20-16.”
“In-do-ne-sia!!!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar