Rabu, 14 Agustus 2013

Aku Selalu di Ujung Sini

Aku menempati kursi penonton terdepan namun berada di paling ujung. Selalu. Agar kedua mata yang banyak orang menyebutnya belok ini tetap dapat melihat dengan utuh potongan tubuh atletisnya dengan semua lincah gerak sepersekian detik saat berhasil mengembalikan smash keras dari lawan. Pemandangan favoritku. Tapi kadang pandangan indah itu sering terganggu oleh lalu lalang para official tim yang memang berada tepat lurus menyerongiku. Malah kadang mereka mengganggu pandangan indahku saat ia berada di momen momen penting. Seperti saat tahun lalu ketika aku gagal merekam adegan sujud syukurnya atas kemenangan yang ia raih. Aku melewatkan peristiwa itu ketika lagi-lagi para official tim berhamburan lari hendak memeluknya. Lalu setelahnya, aku hanya bisa merengek menyesalinya untuk setiap pertandingan-pertandingan selanjutnya. Selalu berdoa penuh was was agar adegan itu dapat kembali terulang tanpa aku harus melewatkannya lagi.
“Nar, ayolah buat apa kita bayar mahal mahal untuk nonton pertandingan dia kalau cuma buat duduk di paling ujung sini? Nanggung.” Rena, satu-satunya pendamping setiaku dalam melewati ritual ini – mulai berorasi. Seperti biasa. Selalu ogah-ogahan untuk menaruh pantatnya saat lagi lagi aku memilih kursi paling ujung.
Aku hanya senyum simpul, menimpalinya. Juga seperti biasa. “Nggak pa-palah Ren, dari sini kan juga masih kelihatan.”
“Kelihatan apanya? Kelihatan tu punggung orang tua bangka?”
Aku menyahutnya masih dengan sebuah senyuman. Hanya senyuman. Aku paling tidak bisa untuk banyak bicara jika itu menyangkut dengan perasaanku. Perasaan? Ya, pertandingan ini sangat erat hubungannya dengan sesuatu yang entah apa namanya selalu menjalar di perasaanku. Sesuatu yang selalu aku coba untuk menyembunyikannya rapat-rapat. Untuk kunikmati sendiri.
“Sinar, kali ini aja gue mohon loe jawab pertanyaan gue. Apa bedanya sih duduk di tengah sana sama duduk di sini? Kalo memang loe suka sama dia, harusnya loe lebih berani dong buat deketin diri loe kesana.” Rena tidak mau kalah. Selalu saja ia menghujaniku dengan pertanyaan serupa. Lalu aku lagi lagi hanya menyengir. Membuatnya terlihat geram di sepanjang pertandingan.
Rena tidak tahu. Rena tidak tahu betapa aku tidak hanya mengidolakannya. Bukan juga sekedar menyukainya, menyerukan namanya, mengagung-agungkannya seperti yang kebanyakan wanita lakukan di kerumunan ini. Aku tidak sesederhana itu.
Nama Guntur jauh lebih dulu mengawang di pikiranku, menggetarkan gendang-gendang di telingaku sebelum begitu di sorak-sorakkan di gedung ini. Aku jauh lebih lama mengenalnya dibandingkan wanita-wanita yang tidak tahu menahu itu.
Hidupku berdampingan dengan hidupnya sejak kami masih sama sama kecil. Dari dulu, aku sudah terbiasa melihat peraduannya dengan kok. Aku begitu hafal lekukan lekukan tangannya dalam mengendalikan raket. Aku menjadi salah satu penonton setianya saat ia selalu meramaikan sore dengan pertandingan antar kampung. Dan seperti sekarang ini, aku selalu menikmati aksinya dengan caraku sendiri. Dengan caraku yang tidak banyak bicara di ujung gang. Dari sinilah, sesuatu itu perlahan-lahan mulai tumbuh. Menjalari perasaanku. Yang bahkan sampai sekarang aku tidak bisa mendeskripsikan apa nama “sesuatu” itu.
Guntur mengenalku. Bahkan ia pernah suatu hari memintaku untuk mengajarinya pelajaran matematika dengan belajar kelompok bersamanya. Tapi aku menolak. Selalu menolak. Meski masih di usia anak-anak, nyatanya aku sudah tahu apa yang harus aku lakukan terhadapnya. Terhadap seorang calon superstar yang jika aku berada sedikit saja di dekatnya itu bisa membuatku tak henti-hentinya bermimpi. Bermimpi terhadap sesuatu yang pada akhirnya aku yakin akan membuatku jatuh.
Itu filosofi yang sampai sekarang masih terus kugunakan. Yang tidak akan pernah dimengerti oleh Rena atau siapapun. Filosofi jika aku berada di dekatnya itu sama artinya dengan membiarkanku dengan bahayanya terbang bersama kedua tongkat penyangga ini ke alam mimpi. Alam mimpi seorang lelaki tampan nyaris sempurna yang tidak layak diselami oleh gadis cacat sepertiku. Terlalu beresiko untuk jatuh dan sakit. Aku tidak siap untuk itu. Jadi selamanya aku hanya akan di ujung sini. Menikmati perasaan ini. Dengan caraku sendiri.
“Service oper, 20-16.”
“In-do-ne-sia!!!”

Back To You

Buliran air menetes satu per satu terjun melewati ujung daun karena hujan telah cukup lama membasahi dunia ini. Langit masih kelabu dan kemungkinan akan hujan lagi, Ahh, rasanya tak mungkin. Karena hujan telah turun selama 3 jam.
Semenjak hari yang sangat kelam itu, aku masih terpuruk dalam keadaan yang selalu membuatku tercekat dan sesak nafas. Saat kata-kata itu terlontarankan dari mulutnya. “Maaf aku tak bisa melanjutkan hubungan ini!” Karena apa? Kau tak boleh langsung pergi! Kau harus menjelaskan padaku! Jangan membuat aku bingung! Tapi, apalah usahaku. TAK MUNGKIN BERHASIL.
Aku masih duduk menatap suasana luar dari sebuah jendela kayu kamarku. Sebenarnya aku tak melihat pemandangan itu. Pandanganku hanya KOSONG. Aku masih memikirkan kejadian itu. Kenapa aku tak bisa melupakannya? Apa aku terlalu mengharapkannya? Dina ayo move on dari dia!!! Kamu gak boleh mengharapkannya!!! Hanya ucapan itu yang sejenak menyemangatiku.
Lamunan itu telah hancur, karena terasakan olehku tepukan tangan yang menepukkan ke bahuku secara perlahan. Aku mendongak dan menatapnya. Orang itu tersenyum ke arahku. Wajahku yang sembab dan air mata itu masih sedikit mengalir. Aku langsung mengusapkannya dengan tanganku. Orang itu merangkulku. Terasa hangat dan sangat hangat. Andaikan dia yang sekarang memelukku?.
“Din, kamu gak boleh sedih terus kayak gini. Kamu harus bisa move on dari dia!” ucap Orang itu yang aku anggap sebagai sahabatku. Keke.
“Tapi, pikiranku masih terus mengingatkanku padanya. Aku belum bisa!” ucapku sembari terisak lagi.
“Kamu pasti bisa. Percayalah padaku!” Ucap Keke meyakinkanku.

Hari ini aku mencoba untuk memulai hari-hariku lagi. Hari-hari yang dulu aku aku jalani sebelum ada kehadiran lelaki itu dalam hidupku. Rasa perih dalam hati ini masih sangat terasakan. Sebenarnya aku tak kuasa untuk menahannya. Tapi, aku harus kuat! Aku tak boleh terlalu lemah!
Kaki ini menuntunku berjalan menyusiri koridor sekolahan. Sejenak aku memalingkan pandanganku ke arah lapangan basket itu. Tapi, dimana dia? Aku tak melihatnya. Aku mohon kau jangan sembunyi! Walau hati ini masih terasa tersayat, aku masih sanggup untuk melihatmu. Aku mohon tampakkanlah wajahmu!
Wajahku masih terlihat suram, Aku berjalan gontai masuk ke dalam kelas. Aku duduk melamun, dan menyendiri. Itulah yang aku lakukan disana. Keke menghampiriku dan duduk di sampingku.
“Din, apa kamu benar-benar sudah sanggup untuk kembali menjalani hidup ini?”
“Aku sanggup bagaimana pun ini adalah jalan hidupku. Aku tak boleh terpuruk disini. Aku harus bisa bertahan walau tanpa kehadirannya.”
Pelajaran hari ini sudah dimulai. Aku tak bisa menangkap satupun pelajaran yang diberikan. Otakku sudah penuh tentang kenangan-kenangan bersamanya. Waktu perlahan terus berjalan tapi, pikiranku masih berhenti dalam suatu kejadian yang sampai saat ini masih membuatku bertanya-tanya.
FLASH BACK ON
Matahari sudah muncul mengantikan rembulan. Semakin tinggi, semakin tinggi. Aku masih duduk di depan meja belajarku menatap sebuah ponsel yang aku tunggu-tunggu untuk berbunyi. Kenapa sampai saat ini dia belum meneleponku? Biasanya jam segini dia sudah menanyakan padaku. Sudah makan belum? Lagi apa? Aku sangat merindukan pertanyaan-pertanyaan itu.
DRRTTT… DDDRRRTT…
Ponselku bergetar! Aku langsung bergegas meraihnya dan mengangkatnya. Aku melihat layar ponselku dan ternyata benar dia meneleponku! Seketika itu hatiku yang penuh dengan penantian, berubah menjadi berbunga-bunga.
“Halo,”
“Nanti sore kamu ada acara?”
“Tidak, emangnya kenapa?”
“Aku mau ketemu kamu di tempat pertama aku menyatakan cintaku padamu.”

Senja, Awan berwarna oranye dan sinar matahari yang mulai meredup. Itulah penggambaranku tentang keadaan sore ini. Aku berjalan ke arah lapangan bola basket sekolahku tempat dimana aku dan dia menyatakan cinta. Aku melihat sosoknya. Sosok yang membuatku tekagum-kagum padanya. Dia berdiri disana! Mengenakan kaos putih dan celana jeans panjang hitam. Aku menghampiri sosok itu.
“Panji, kamu udah nunggu lama?” Tanya ku.
Panji adalah panggilan pasangan hidupku itu. Panji Dhewa Saputra. Ia tak menjawab apa-apa dia langsung memegang erat kedua tanganku itu. Aku dan dia saling bertatapan. Tapi, pandangannya terhadapku aneh, tak seperti biasanya. Panji menghembuskan nafas perlahan.
“Din, Maaf aku tak bisa melanjutkan hubungan ini!” ucapnya
Waktu terasa berhenti berjalan, jantungku berhenti berdetak, nafasku tercekat, Aku melepaskan genggamannya dan berlari tanpa arah Air mataku terus menetes seiring aku berlari. Aku masih Tak percaya? Kenapa dia tak mengejarku? Apa dia sudah tak mencintaiku? Aku berharap dia mengejarku dan menjelaskan semua alasanya. Tapi, TIDAK!. Dia tak mengejarku sama sekali!
FLASH BACK OFF
Matahari sudah berada di atas kepala. Bel pulang sekolah juga sudah berbunyi. Biasanya dia menjemputkku disini. Tapi semua itu hanya kenangan. Aku mulai menitikkan air mata mengingat kenangan itu lagi. Aku masih belum sanggup.

Hari minggu ini masih terasa hampa tanpa kehadirannya. Aku masih belum bisa move on dari darinya. Mungkin dengan rencanaku ini aku bisa melupakannya dan mencari penggantinya. Aku sibuk membereskan barang-barangku dan memasukkannya dalam sebuah koper besar. Keke hanya melihatiku.
“Din, apa keputusanmu sudah bulat untuk meninggalkan kota Jakarta ini?”
“Aku yakin, aku harus move on dari dia. Kalau aku disini aku takkan bisa melupakannya.”
“Kamu gak bawa foto, Panji?”
“Untuk apa? Aku mau benar-benar move on!”
Aku menarik koper besar itu keluar dari rumah besarku. Aku membuka pintu mobil itu. Terlihat sebuah bayangan kecil sosok Panji disana. Aku coba menghampirinya perlahan ke arah sosok itu.
“Panji?”
Wajah itu menoleh ke arahku. Iya benar itu Panji. Tapi kenapa dia mengacuhkanku? Kenapa dia juga tiba-tiba datang kesini. Aku masih berkutat dalam pertanyaan-pertanyaan itu. Setelah aku tersadar kembali sosok Panji sudah hilang entah kemana. Apakah itu benar-benar Panji atau hanya sebuah ilusi?
Aku kembali berjalan mendekati mobil yang membawaku ke luar kota. Aku memeluk erat sahabatku tanda perpisahan. Tapi, sahabatku itu masih terheran-heran perilaku ku tadi.
“Din, tadi ngapain kamu kesana?”
“Oh bukan apa-apa tak usah dipikirkan. Tolong jangan pernah lupakan aku karena kamu adalah sahabat terbaik yang pernah aku miliki. Suatu saat nanti aku pasti kembali kesini.

Kota Solo adalah kota pilihanku saat ini, untuk menghilangkan kenangan-kenangan bersama Panji. Udaranya sangat sejuk, suasana tenang. Aku berharap aku bisa perlahan melupakan kenangan itu. Banyak orang-orang baru yang kutemui dan orang itu asing semua dan mulai detik ini aku mencoba untuk sedikit demi sedikit kenangan tentangnya.

Jangan sembunyi
Ku mohon padamu jangan sembunyi
Sembunyi dari apa yang terjadi
Tak seharusnya hatimu kau kunci
Bertanya, cobalah bertanya pada semua
Di sini ku coba untuk bertahan
Ungkapkan semua yang ku rasakan
Kau acuhkan aku, kau diamkan aku
Kau tinggalkan aku
Lumpuhkanlah ingatanku, hapuskan tentang dia
Ku ingin ku lupakannya
Jangan sembunyi
Ku mohon padamu jangan sembunyi
Sembunyi dari apa yang terjadi
Tak seharusnya hatimu kau kunci
Lumpuhkanlah ingatanku, hapuskan tentang dia
Hapuskan memoriku tentang dia
Hilangkanlah ingatanku jika itu tentang dia
Ku ingin ku lupakannya
Lumpuhkanlah ingatanku, hapuskan tentang dia
Hapuskan memoriku tentang dia
Hilangkanlah ingatanku jika itu tentang dia
Ku ingin ku lupakannya
Lumpuhkanlah ingatanku, hapuskan tentang dia
Ku ingin ku lupakannya
Kau acuhkan aku, kau diamkan aku
Kau tinggalkan aku

2 tahun telah berlalu, itulah waktu yang aku gunakan untuk melupakannya. Tapi, itu semua tak berhasil ingatanku tentang dia masih terekam jelas dalam pikiranku. Apakah dia begitu penting dalam hidupku?
Aku kangen dengan suasana Jakarta yang sangat berbeda seperti disini, Aku ingin kesana. Tapi, itu artinya aku harus rela ingat dengan memoriku kembali. Tapi mungkin tak sesakit dulu.
Perjalanan panjang telah ku tempuh menuju kota Jakarta. Suasana ramai dan panas inilah yang aku rindukan. Kemacetan yang terus merajalela juga masih terlihat. Tidak ada yang berubah selama 2 tahun ini. Begitu juga perasaanku padanya. Aku rindu dengan rumahku, sekolahku dan tentunya ‘DIA’ .
Mobil yang membawaku ke Jakarta sudah tepat berhenti di depan rumah. Keke juga sudah tampak berdiri disana. Aku menghampirinya dan memeluk erat tubuh Keke. Perlahan Keke melepaskan pelukan itu.
“Din, apa kamu sudah bisa melupakan nya?”
“Masih belum.” ucapku sambil menampakkan wajah yang masam
“Setelah 2 tahun kau meninggalkan kota Jakarta ini, kamu belum bisa melupakannya?”
“Iya. Aku mau masuk ke dalam. Aku capek.”

Senja…
Saat matahari mulai membenamkan wajahnya
Digantikan oleh bulan yang menyinari Jagat raya
Aku masih ingat tentang semua kenangan
Kenangan kita bersama
Disini..
Di lapangan basket ini
Setelah 2 tahun aku berusaha
Melupakanmu
Tapi, hasilnya tetap nihil
Memori itu sudah mendaging dalam otakku
Kini aku sadar hanya kamu
Yang dapat mengisi hatiku
Dan tak ada orang lain yang dapat menembusnya.
Aku duduk terdiam di pinggiran lapangan basket ini. Kenangan itu masih terekam jelas. Aku masih mengharapkanmu hadir mengisi hari-hariku. Aku sadar kalau hanya kamu yang dapat mewarnai hariku. Aku mohon kembalilah padaku. Aku tak bisa hidup tanpamu.
Aku merasakan sebuah tepukan mendarat di bahuku. Aku mendongak dan menatapnya. Aku benar-benar tak percaya! Sekarang dia benar benar ada di sampingku. Aku melihat wajahnya. Dia tersenyum padaku! Senyuman itu membuatku terhibur, tenang dan air mataku mulai mengering di gantikan oleh sebuah senyuman.
“Din, kamu jangan nangis, kamu gak boleh nangis!”
“Panji?”
Hanya kata-kata itu yang dapat terucap dalam bibirku. Reflek aku langsung merangkul Panji disana. Panji membalasnya. Hatiku tenang, nyawaku hidup kembali, kehidupanku kembali!!
“Din, maafkan aku, aku telah membuatmu tersiksa. Maafkan aku telah memutuskanmu waktu itu. Sebenarnya aku hanya ingin intropeksi diri dan mengujimu. Apakah aku pantas ada di sisimu? dan apakah kamu akan cepat mendapatkan penggantiku? Ternyata tidak kau masih mengharapkanku. Aku juga masih cinta sama kamu. Aku tak rela untuk melepasmu lagi.”
“Aku juga mencintaimu, Panji.” ucapku lirih dalam pelukan Panji.
THE END
Cerpen Karangan: Diana Kusuma Astuti

Korban Cinta Pertama

Setiap orang menyebutku bodoh ketika mereka melihat bagaimana ku bertahan dengan kisah yang tiada jelasnya. 3 tahun bukanlah penantian yang berarti untuk usiaku yang belia ini, 17 tahun. Tarik ulur hati oleh sebuah pesan singkat di handphone yang kadang muncul kadang tidak, hanya seperti permainan belaka. Dramatikal kisahku yang terasa semakin memburuk dengan kabar yang mengatakan dia telah menyukai wanita lain baru-baru ini. Status sosial media yang selama ini menjadi sumber berita tentangnya, penuh dengan kalimat romantis olehnya. Bukan untukku, meski kuharap begitu, namun untuk wanita lain. Terasa bodoh ketika harus menangis melihat tulisan yang tiada bisa menyakiti itu. Lebih dari silet yang menyayat ternyata, meski hanya untaian kata.
Setiap hari, foto-foto mereka muncul di beranda ku. Seakan ingin berbicara, “ini dia yang kusayang bukan kamu..”. hanya tetesan air mata kepedihan yang menemaniku. Berlebihan memang, tapi aku hanya “korban cinta pertama.” Hai kamu tersangka, kembalikan hatiku! Berapa lama lagi kamu bermain dengan kerapuhannya. Hanya pekikan lirih dari perihnya keadaan yang menyelimuti. Penjarakan setiap gerak raga ini.
Di saat ku berusaha lepaskan borgol ini, aku hampir saja menyentuh pintu keluar menuju cerita baru, tapi aku ditarik lagi oleh sebuah pesan singkat yang sangat berarti untukku, “hy”. Namamu terdaftar di inbox-ku saat kau mengirimkan pesan itu kepadaku. Ada getar yang menggerakan organ dalamku, tepatnya hatiku. Dengan semangat dan tak ingin membuat kau menunggu, aku membalas, “hy juga.. apa kabar?” saat ku hendak mengirimnya, sesaat aku terhenyak oleh foto-foto di facebookmu yang sedang ku buka, kau sedang bersama wanita itu. Aku mencoba mengurung niatku, tapi aku gagal oleh hasrat yang ingin kembali membaca pesan balasanmu. Aku mengirimkan pesan itu. Aku terasa begitu bersemangat saat itu. Saat hpku bergetar, aku melihat segera mungkin. Ternyata pesan dari operator. Oke, aku tetap menunggu. Hingga tak sadar dalam penantian itu, aku tertidur. Tak terasa malam membangunkanku, aku kembali melihat handphone, namun inboxku tiada bertambah lagi. Dada begitu menyesak. Menangis pun tak ada air mata yang keluar.
Buku diary yang seolah menjadi saksi bisu setiap luka ini kembali aku adui. Ku ceritakan setiap senyum yang sempat terlukis ketika membaca pesannya dan juga perih yang tak terkatakan. Sampai kapan Tita kamu seperti ini. Aku terus berpikir tentang keadaanku sebelum mengenal dia, Rio. Orang yang membuatku tidak mengenal diriku yang dulu. Aku baik-baik saja. Bahkan sangat baik. Namun, entah apa yang ada dalam cinta pertama yang terus membelenggu pikiran dan hatiku yang seolah menjadi buta permanen selama 3 tahun. Cinta pertama yang dulu selalu aku dambakan. Aku bilang hidupku menjadi berwarna, aku bilang aku terlihat istimewa, namun aku lupa, bahwa itu hanya perasaanku saja. Cinta yang kuanggap indah, berwarna, semua hanya semu. Rio itu tidak pernah menanggapi rasa ku. Dia hanya mencoba bersikap wajar meresponiku. Namun, aku selalu berpikir positif dan menganggap dia menyukaiku. Kini aku tersadar. Perasaanku terlalu ikut campur hingga mematikan logikaku. Kini, korban cinta pertama seolah sebutan yang cukup dan tepat bagi hati yang masih berharap meski terus tak tertanggap. Perjalanan masih panjang untukku tetap bertahan. 3 tahun cukup untuk semua kebodohanku. Aku harus melepaskan predikat ini. Bebas dari cinta pertama yang hanya sebelah tangan.
Cerpen Karangan: Icetea

Senyummu Senyumnya

Aku merindukanmu, sangat sangat merindukanmu. Andai waktu dapat berputar kembali kuingin mengulang masa-masa indah kita dulu. Kutahu semua itu tak mungkin, tapi aku amat merindukanmu. Bayanganmu mulai redup, wajahmupun tak nampak dalam mimpi malamku. Jika aku boleh memilih aku ingin ikut bersamamu. Tapi, aku sadar aku tak hidup sendiri aku masih mempunyai keluarga yang menyayangiku serta sahabat-sahabatku.
“Na, makan dulu sudah seharian kamu belum makan” ucap ibuku lembut sembari menghampiriku dan menyentuh bahuku. Aku tersenyum menatap wajahnya, kuangkat tubuhku dari atas ranjang. Memang seharian ini aku tak keluar kamar sama sekali.
“Bu, Ria sama beby belum datang?” aku menanyakan kedua sahabatku pada ibu, biasanya mereka datang ke rumah tiap hari.
“belum, mungkin sebentar lagi” jawabnya sambil memberikan sepiring nasi goreng padaku. Aku mengangguk paham dan tersenyum pada ibu. Kemudian Ibu berlalu dibalik pintu dapur.
Kuhabiskan nasi goreng yang dibuatkan ibu, jujur aku memang sangat lapar. Sehabis makan aku menuju ruang tengah menunggu Ria dan Beby. Aku berhenti di depan sebuah foto berukuran 10R yang dipajang lanscape di dinding ruang tengah. Aku tersenyum bahagia melihat foto itu, kutunjuk satu persatu siapa saja yang ada di dalam foto. Foto ini diambil saat kami liburan sekolah 1 tahun silam. Bima, Ria, Beby, Dino, aku dan _ Rama _ ya saat itu kami sedang berlibur di pantai. Tentunya saat itu kebahagiaanku masih utuh karena ada Rama kekasihku, kini hanya kenangan-kenangan indah yang tersisa. Aku sepenuhnya merelekan kepergiannya karena aku yakin ini memang sudah takdir sang pencipta. Rama meninggalkan kami semua karena kecelakaan maut yang merenggut dia dan keluarganya. Padahal saat itu kami akan melaksanakan ujian nasional tingkat SMA.
“Dyana…!” teriak beby dari halaman rumahku, sedangkan Ria masih memarkir sepada motornya. Akupun berjalan menuju teras rumah.
“jreng… jreng… liat?” beby menunjukan poster untuk pertunjukan Drama Musical di kampus kami. “bagus kan?” Ria meminta pujian dariku. Mereka bedua memang ditugaskan untuk bagian promosi, mulai dari poster dan undangan mereka yang mengurusnya. Sedangkan aku mendapat bagian mengurus dekorasi panggung.
Aku mengamati poster buatan mereka, beby nampak tegang menunggu komentarku. Memang kami sama-sama kuliah jurusan design tapi menurut mereka pengamatan designku lebih baik dari mereka.
“Bagus kok” ucapku. Ria dan beby tampak senang dengan ucapanku.
“makasih Dyana” ucap Ria, mereka langsung memelukku.
“hoy.. hoy.. lepasin. Gak bisa nafas!” teriakku. Mereka malah tertawa.
Aku, Ria dan Beby kuliah di kampus yang sama, sedangkan Bima dan Dino kuliah di luar Kota. Jadi kita bertiga seperti Trio Cejo (Cewek Jomblo), ya meskipun Ria dan Beby harus Long Relation dengan cowoknya, tetapi mereka berdua Setia. Aku harap hubungan sahabat-sahabatku akan selalu abadi.
Pertunjukan Drama Musical memang masih 3 hari lagi tapi kami para panitia mulai bersiap-siap mempersiapkan semuanya.
“Na, tolong kamu kamu ambilin beberapa poperty yang masih di ruang rapat” pinta Noy, dia adalah ketua panitia Pertunjukan Drama Musical.
“iya” akupun bergegas menuju ruang rapat. Ada 4 kardus besar berisi barang poperty yang harus dibawa ke panggung tapi aku tak mungkin membawanya sekaligus, ini terlalu banyak.
“gak kurang banyak nieh!” pekikku
“mau aku bantu?” tanya seorang cowok yang tiba-tiba muncul di belakangku. Ternyata Arjuna, dia menawarkan diri untuk membantuku.
“Nggak usah, aku bisa sendiri” jawabku tegas walapun ucapanku berbeda dengan keadaan yang terlihat, Arjuna langsung mengambil kardus-kardus tersebut tanpa bicara lebih lanjut dan hanya menyisakan satu kardus untukku.
“Heeeiii…” protesku
Arjuna tak menggubris ucapanku, dia malah berjalan cepat menuju panggung. Akupun hanya mengikutinya.
“aku kan sudah bilang aku bisa sendiri kok”
Arjuna hanya diam sambil menata kardus-kardus tersebut di atas panggung. Lalu Arjuna menatapku dingin. Aku terkejut dengan tatapannya, akupun terdiam.
“terima kasih kembali” ucap arjuna, kemudian pergi. Aneh.
“hoy.. terimakasih!” teriakku kemudian.
Setelah persiapan untuk Pertunjukan hampir selesai, sekarang tinggal menunggu hari H-nya, ya walapun belum selesai semuanya.
Kegiatan favoritku setelah pulang dari kampus adalah mampir ke Toko Buku dekat rumahku.
“Life is Miracels… Life is Miracels…” gumamku sambil menjelajahi rak buku.
Ini dia!
Saat aku hendak mengambil buku tersebut, ada satu tangan lagi yang secara bersamaan yang juga ingin mengambilnya. Seperti adegan dalam film-film saja. Akupun menoleh pemilik tangan tersebut.
“Arjuna” Pekikku dengan nada kecil
“seperti melihat hantu saja” komentar arjuna sambil tersenyum, tetapi dia masih tak melepaskan tangannya dari buku tersebut.
“kamu kok disini?” tanyaku bingung
“memangnya tak boleh? Inikan tempat umum”
“bukan begitu! Maksudku…”
“kenapa kok Toko buku ini, kamu gak nyadar rumah kita kan satu komplek” potong arjuna sebelum aku melanjutkan ucapanku. Akupun hanya tersenyum.
“tapi bisa gak lepasin bukunya?” pintaku
“ini?” arjuna sepertinya menimbang-nimbang ucapanku
“please” pintaku lagi. Akhirnya dia melepaskan bukunya.
“Thanks” akupun tersenyum pada arjuna dan langsung menuju ke kasir.
Ketika aku keluar dari toko buku, ternyata arjuna masih ada.
“mau aku antarin pulang?” tanyanya
“gak usah deh” tolakku halus
“Okey” dia mengangkat bahunya dan tersenyum.
Akupun berlalu meninggalkan arjuna.
Manis. Ternyata Arjuna kalau tersenyum tambah manis dan Cool. Oh my God ada apa denganku, kenapa aku terus-terusan teringat dengan Arjuna.
“Rama, kenapa akhir-akhir ini bayanganmu mulai hilang. Padahal aku tak ingin kehilangan semua tentangmu” aku menarik nafas dalam-dalam, menahan air mataku. “Apakah kamu disana masih mengingatku?” air mataku tak dapat kutahan “kenapa sosok Arjuna mulai hadir dalam fikiranku, kenapa denganku?” kutatap foto Rama, dia masih tersenyum padaku.
“Rama, bolehkah aku mencintai orang lain selain kamu?” sungguh pertanyaan yang konyol, fikiranku mulai kacau.
Sehari sebelum Pertunjukan Drama Musical, Aku Ria dan Beby hang out ke cafe.
“kamu lagi mikirin apa sih Na?” tanya Ria tiba-tiba, Beby ikutan mengamatiku
“enggak ada kok, perasaan kamu aja kali” elakku
“Na, kita udah kenal kamu lama, ada apa ngaku?” kali ini beby yang angkat bicara
Aku tak dapat mengelak dari sahabat-sahabatku, mereka sudah tau tentangku karena dari kecil kami selalu bersama.
“salah-kah aku me-nyukai orang lain?” ucapku gugup. Ria dan beby saling berpandangan, sejurus kemudian mereka Tersenyum.
“kamu lagi suka sama seseorang?” terka Beby
“Siapa Na?” timpal Ria. Aku hanya terdiam
“Na, siapa yang ngelarang kamu suka sama orang lain, gak ada. Apa kamu masih tak sanggup melepaskan Rama, aku yakin Rama pasti ngerti_ mungkin ini saatnya kamu membuka hatimu” lanjut Ria. Beby mengangguk meng-iyakan ucapan Ria.
“karena selamanya Rama akan selalu di hatimu, tak akan kemana-mana” Ria memegang bahuku. Aku mengangguk pelan.
“Tapi, kalau kamu suka sama orang lain, Kamu jangan pernah lupain Rama. Ingat Rama itu sepupu aku, kamu jangan bikin dia sedih di alam sana” Ancam beby dengan tersenyum.
“Apa-an sih Beb. Ngaco!” komentar Ria. Beby hanya Manyun.
“Iya, Aku akan selalu mencintai Rama kok” ucapku tegas
“ngomong-ngomong, emang siapa yang kamu suka?” tanya Ria. Aku berfikir ‘jawab, tidak, jawab, tidak’
Mereka berdua menunggu jawabanku.
“Cari aja sendiri” ucapku menggoda mereka
“Yeeeaaah” seru Ria dan Beby
Akhirnya Pertunjukan Drama Musical dimulai, setidaknya tugasku sebagai bagian Dekorasi panggung Kelar, tinggal para pemain dan pengisi acara yang unjuk Gigi. Awalnya aku disuruh untuk menjadi pemeran dalam drama, tapi aku langsung menolaknya karena aku tidak PD tampil di depan orang banyak.
“haiiisssh” seseorang menabrak tubuhku, sepertinya dia tergesa-gesa
“Sory” ucapnya
“Ar-juna” aku menatapnya “kamu ngapain disini? Seharusnya kamu duduk di bangu penonton” ucapku. Arjuna tak menggubris ucapanku, dia hanya tersenyum dan berlalu meninggalkanku.
“Selalu” gumamku
“Apanya yang selalu Na?” tanya Beby yang tiba-tiba merangkulku dari belakang. Aku hanya menggeleng. Kemudian kamipun menuju depan panggung.
Kenapa setiap Arjuna tersenyum aku teringat oleh Rama_ Aku mengenal Arjuna cukup lama tapi kenapa aku baru sadar kalau Arjuna mirip dengan Rama. Senyumannya, Sikapnya yang Cuek. Semua terasa Mirip.
Aku, Ria dan Beby berdiri di belakang bangku penonton untuk menyaksikan pertunjukan. Karena kami bagian dari panitia jadi tidak kebagian tempat duduk. Sampai hampir akhir acara kami masih setia berdiri walaupun kakiku sedikit kesemutan.
“Okey, sekarang sambut penampilan terakhir dari Arjuna Cs, berikan tepuk tangan!… wuuuu” ucap si Pembawa acara.
“WOOOOW” seru Ria dan Beby. Aku hanya melongo. Arjuna Cs. Sejak kapan Arjuna punya Band.
“Keren..!” teriak Beby
“Selamat Malam semuanya… lagu ini kupersembahkan untuk seseorang yang membuatku jatuh cinta saat pertama kali aku melihatnya, hari ini, besok, dan seterusnya. Dyana Sastika” ucap Arjunya, sambil menatapku dan memberikan senyuman termanisnya.
“wuuuuuu” riuh teriakan para penonton. Lagu ‘A Thousand Years’ akhirnya dinyanyikan oleh Arjuna Cs.
Akupun hanya dapat tersenyum, menatap sosok yang selalu memberikan senyuman termanisnya. Tanpa sadar aku juga seperti melihat sosok Rama di atas panggung, dia menatapku dengan Tersenyum.
“Na, dia?” tanya Ria, di antara riuhan para penonton yang sangat antusias dengan Arjuna Cs.
Aku hanya mengangguk. Lalu Ria memelukku, Beby yang melihat kami berdua berpelukan ikut-ikutan memelukku.
“Dalam rangka apa nieh kita berpelukan?” ucap Beby. Dasar Beby Lemot. Aku dan Ria hanya tertawa.
Malam semakin larut aku, Ria dan Beby hendak pulang bersama-sama. Namun semua berubah 180o saat Arjuna datang.
“Emmm, kayaknya kita gak bisa pulang bareng deh Na” ucap Ria dengan nada menyesal yang dibuat-buat.
“Lho, memang kenapa?” tanya Beby. Yang tak mengerti maksud Ria.
“udah kita pulang berdua aja, okey beb” Ria menarik Beby, Beby hendak protes tapi Ria menutup mulutnya dan menariknya dengan paksa.
Aku yang melihat ulah Ria tertawa kecil. Tak sadar kalau arjuna sudah berdiri di sampingku.
“Jadi?” ucap Arjuna
“Jadi apanya?” tanyaku pura-pura tak mengerti maksud Arjuna.
Dia malah menggaruk-garuk kepalanya.
“Aku memang tak dapat menggantikan Rama, tapi izinkan aku menemani hari-harimu” ucapan Arjuna membuatku membatu. Dia mengetahui tentangku lebih dari yang kubayangkan.
“Apa tadi Norak?” tanyanya padaku “bikin malu kamu ya?” Aku tersenyum mendengar pertanyaan Arjuna.
“Sedikit bikin malu aku sih” ucapku cuek “tapi itu cukup buat membuktikan perasaanmu”
Arjuna mengangkat alis. “So?”
Aku menghela nafas,
“thanks, aku sangat tersanjung” ucapku kemudian.
Arjuna menarik tanganku dan menggemgamnya. Aku tersenyum padanya.
Akhirnya Kebahagiaanku Utuh kembali. Aku punya Keluarga, Sahabat, Arjuna dan Rama yang akan selalu di hatiku.

Episode Cinta di Atas Dermaga

“Kita telah salah.” Binar memulai percakapan antara kami. “Kau tahu ini seharusnya tidak terjadi?” lanjut Binar yang sedang duduk di sampingku.
Aku hanya bisa menatap debur ombak air laut di dermaga ini. Sebenarnya aku tahu bahwa itu adalah pertanyaan sederhana. Tapi entahlah bibirku membeku tak bisa sedikitpun menjawabnya.
“Aku mengerti bagaimana perasaanmu. Tapi tidak seharusnya kita melakukan ini.” katanya lagi dengan nada sedikit lirih.
Tergambar di wajahnya sebuah garis-garis kecemasan dan penyesalan. Aku bisa melihatnya dengan jelas. Sorot matanya menunjukkan sebuah ketakutan.
Aku juga mengakui memang tidak seharusnya lagi hal ini terjadi di antara kami. Tapi entahlah aku merasa seperti tidak bisa menghindar dari itu. Setiap kali ingin menghindar ada tatapan yang seolah menarikku kembali agar kembali mendekat. Tatapan yang selalu aku cintai.
“Sudah ada cincin yang melingkar di jari manisku.” kata Binar sembari menunjukkan cincinnya padaku. Cincin yang dipasangkan oleh Ito, calon suaminya. Dua bulan lalu Binar bertunangan dengan Ito. Ito adalah lelaki pilihan orang tuanya.
Binar adalah kekasihku sebelum akhirnya dia memilih bertunangan dengan Ito. Aku dan Binar kenal ketika kami bertemu sebagai relawan membantu korban bencana di daerah kami dulu. Sejak itu kami membangun kedekatan hingga akhirnya kami saling jatuh cinta. Dan kamipun menjalin hubungan selama hampir 4 tahun. Namun, orang tua menganggap aku dan Binar beda kasta sehingga sangat tidak mungkin untuk bersatu. Orang tuanya menentang hubungan kami dan berusaha menjodohkan Binar dengan lelaki lain agar Binar tidak lagi bersamaku.
Sebenarnya aku sudah bisa melupakan Binar. Perlahan aku sudah mencoba membunuh rasa pada Binar. Perlahan pula aku mencoba membangun kesiapan hati untuk menyaksikan Binar bersama orang lain. Namun, satu minggu yang lalu aku mendapati sebuah undangan pernikahan. Dan kulihat itu adalah surat undangan Binar dan Ito. Aku mengajaknya ke dermaga ini hanya untuk sekedar bertemu dan mengucapkan selamat padanya.
“Ini salahku, Binar. Aku telah salah menempatkan diriku di hadapan kamu. Aku membuatmu mengkhianati banyak orang. Jujur aku tidak bisa mengendalikan diriku.” ucapku yang sejak tadi diam mematung.
“Apa maksudmu tidak bisa mengendalikan dirimu?” tanya Binar dengan nada agak tinggi.
“Kau menatapku dan aku menatapmu. Tatapanmu. Tatapan yang selalu aku cintai, membuat aku hilang kendali. Membuat pikiranku susah untuk dikontrol. Tatapanmu yang menarikku dan jatuh. Dan aku tidak berpikir bahwa akan membawamu ikut terjatuh.” jelasku.
Binar terdiam setelah mendengar ucapanku itu. Dia memandangku, mungkin dia sedang memahami maksud dari kata-kataku. Lalu kulihat matanya mulai berkaca-kaca kemudian ada yang menetes di pipinya. Perlahan air itu membasahi pipi lembutnya. Aku menghapusnya tapi Binar menurunkan tanganku.
“Kau dan aku sudah terlalu jauh berlari di jalan ini. Hingga akhirnya kita tiba di persimpangan jalan. Kau mengajakku untuk terus berlari sampai menemukan ujung jalan ini. Tentu aku masih ingin terus berlari bersamamu. Tapi kau tahu, aku harus memilih berbelok untuk mencari jalan lain.” ucap dengan lirih Binar sambil air matanya tetap menetes.
“Cinta kita sudah terlampau jauh. Hati kita sudah terlanjur berpegangan erat dan tak mau saling melepas.” lanjutnya sembari mengenggam tanganku. Aku menatapnya. Air matanya belum juga berhenti. Kupeluk dia lalu kusandarkan kepalanya di bahuku. Aku selalu melakukannya bila Binar sedang menangis. Ya, selalu.
“Kau harus bisa berlari sendiri. Tanpa aku. Mungkin di jalan kau akan bertemu dengan wanita yang mau kau genggam tangannya, lalu berlari bersama menemukan ujung jalanmu. Suatu saat jika memang takdir kita, kita akan menemukan ujung jalan yang sama.” lanjutnya. Binar menghapus air mata di pipinya. Kemudian dia berdiri dan mendaratkan kecupannya di pipiku. Kecupan yang lain. Kecupan yang amat tulus yang pernah mendarat di pipiku.
Binar memakai tasnya lalu pergi meninggalkanku yang masih terduduk di pinggir dermaga ini. Kini aku hanya menikmati deburan ombak yang menghantam pinggiran dermaga. Laut saat itu sedang cerah dengan sinar bulan penuh sempurna. Kemudian pikiranku kembali menuju pada satu jam yang lalu. Saat-saat dimana aku dan dia saling menatap. Tatapan yang berakhir pada pertemuan bibir kami.
Cerpen Karangan: Yudik Wergiyanto

SECANTIK SAKURA

Terik mentari menyambut jiwa yang bangkit dari tidur malamnya. Seperti biasa diceknya hp sebelum pergi ke kamar mandi dan seperti biasa pula pasti ada sms dari kekasihnya, “Selamat pagi, sayang. Senin ceria.” Dengan senyum lebar diwajahnya dia bergegas ke kamar mandi dan sesegera mungkin Dia mempersiapkan diri. Dia merasa sudah amat sangat bersemangat untuk melakukan aktivitas hari ini terlebih bonus yang sangat hebat dapat melihat wajah kekasihnya. Sudah satu minggu Dia tak bersua dengan kekasihnya.
Dilihatnya jam ditangannya yang menujukkan pukul 06:25. Dia sudah tak sabar bertemu dengan kekasihnya setelah 1 minggu tak bertemu. Dia benar-benar tak sabar, gregetan, gemas, untuk mengoyak-ngoyak wajah kekasihnya. Diceknya hp berkali-kali. Tak ada satupun sms dan miscall. Dia mondar-mandir sambil plonga-plongo sesekali dilihat jam yang melingkar di tangan kirinya.
Tiba-tiba, “Assalamualaikum,” salam seseorang yang berhenti di depannya.
“Wa’alaikumslam,” jawabnya. “Lama amat, huh!” gerutunya.
“Ma’af, tadi kesiangan soalnya kau baru nyampe jam 3 tadi,” jawab Miko. “Dia sayang, jangan cemberut gitu dong! Ayo naik! Entar keburu telat deh,” ajaknya dengan penuh perhatian.
Dilemparnya remasan kertas ke wajah kekasihnya dengan nada bergurau, Dia hanya tersenyum. Dalam hatinya Dia bersyukur karena kekasihnya ini masih seperti 1 minggu sebelum mereka harus dipisahkan jarak Malang-Pamekasan. Oleh-oleh terindah yang Dia minta adalah kepulangan Miko dengan selamat.
“Sayang, aku punya oleh-oleh buat kamu,” kata Miko bersama terpaan angin.
“Apa?” tanyanya.
“Hatiku,” jawabnya.
“Wek wek,” jawab Dia tersenyum.
Mereka benar menikmati segarnya angin pagi itu. Dihirupnya angin di pedesaan dalam-dalam, pelan-pelan masuk krongkongan mengalir masuk ke rongga dada, Subhanallah, nikmat Allah. Senyum lebar terlukis di wajah mereka masing-masing. Sakit rindu selama 1 minggu tanpa komunikasi sekarang sudah terobati.
“Wuah.. telat deh!” gerutu Dia sambil mengerutkan kening.
“Nggak papa, sayang,” jawab Miko. “Yang penting kita selalu bersama,” tambahnya.
Dia hanya manyun sembari mencoba membuka pintu gerbang yang sudah tegembok. Mikopun mencoba membuka tapi sialnya pintu sudah tergembok dengan pasti. Mereka bingung cara masuk ke sekolah. Dalam pikiran Miko mungkin dengan loncat pagar tapi Dia tak mungkin diajaknya. Miko terus mencari cara. Digoyangkannya pitu gerbang yang terbuat dari besi sehingga berbunyi. Dengan kompak Dia juga ikut menggoyangkan gerbang.
“Jangan manyun terus! Masih pagi, sayang. Senin ceria,” kata Miko.
Dia hanya tersenyum. Merekapun saling tersenyum dan tertawa bersama. Tiba-tiba seseorang yang tak asing dari arah lapangan menghampiri Dia dan Miko. Alis tebal, kepala tak berambut, dan kumis panjang yang letik serta mata yang melotot, siapa yang punya kalau bukan Pak Rohim.
“Heh, mau bikin pintu rusak? Anak dua ini memang minta dihukum. Unyil-unyil sudah berani datang terlambat. Upacara sudah selesai 15 menit yang lalu,” sontak Pak Rohim.
“Hehe..” jawab Miko nyengir.
“Ayo kalian berdua ikut saya!” pinta Pak Rohim.
Mereka berdua mengikuti Pak Rohim sambil ribut-ribut kecil. Sesekali Pak Rohim menegur tapi mereka malah senyum-senyum. Ternyata Pak Rohim menuju toilet siswa yang baunya naudzubillah. Menyusuri ruang-ruang kelas menuju toilet sudah membuat mereka mengerutkan dahi dan menutup hidung.
Merekapun membersihkan toilet. Menguras sampai mengepel. Keringat mengucur deras membasahi seragam mereka. Namun mereka menikmati pekerjaan mereka. Anggap saja training untuk nanti jika mereka menikah. Kurang lebih 2 jam mereka dapat menyeesaikan hukuman mereka. Wajah layu dan bau keringat membuat mereka menjadi bahan lelucon saat memasuki kelas masing-masing.
Tik.. tik.. tik.. waktu mengalir begitu cepat rasanya untuk mereka. Miko harus melanjutkan sekolahnya keluar kota, tepatnya di Bogor. Cerita mereka di masa putih abu-abu akan tinggal kenangan karena tinggal Dia di sekolah itu.
Sudah 3 hari keberangkatan Miko ke Bogor namun rasanya sudah berbulan-bulan. Malam ini malam Minggu biasanya Miko ke rumah Dia atau mereka telponan. Sayangnya, malam ini Dia harus menikmati malam minggu seorang diri dengan rasa rindu yang sangat dalam. Dia hanya dapat menatap foto Miko berbingkai pita merah yang dibuatnya sendiri. Menatapnya dalam-dalam sembari meraba wajah manis yang tersenyum. Diceknya pula hp beberapa kali namun belum ada obat untuk kerinduannya.
Dia masih menatap foto Miko dan tanpa disadarinya air matanya menetes membasahi foto kekasihnya. Tiba-tiba hpnya berdering bertanda ada sms dengan segera dibukanya sms itu. Perlahan-lahan terlukis senyum diwajahnya. Dibacanya sms itu berulang kali. Didekapnya mesra sambil berguling-guling di kasur. Setelah membaca sms itu Diapun dapat tidur dengan nyaman.
1 tahun pun berlalu.
Senin yang tak seceria dulu. Dia mengikuti upacara dan tak telat sehingga tak perlu menggoyangkan gerbang dan kemudian akan dihukum Pak Rohim. Ditatapnya gerbang yang tak pernah berubah sejak 1 tahun yang lalu. Perlahan seperti ada sosok Miko dan dirinya di gerbang itu. Rayuan Miko yang menghiburnya karena terlambat, tawa mereka yang lepas, ekspresi wajah saat Pak Rohim datang dan menghukum mereka membersihkan toilet. Tanpa disadari Dia lupa tak membawa topi dan ujung-ujungnya Diapun dihukum, toilet lagi.
Diraihnya kain pel perlahan lalu diusapkannya pada lantai walau sambil melamun. Dia terus melamunkan sosok Miko saat mereka dihukum bersama di tempat itu 1 tahun silam.
Tiba-tiba, “Bruk!” seorang siswa terjatuh dan kemudian pingsan.
Cepat-cepat Dia sadar dari lamunannya dan segera mencari pertolongan. Pak Rohim yang kala itu melewati toilet berlari bermaksud untuk menolong namun sialnya, gubrak, Pak Rohim juga terpeleset. Ujung-ujungnya hukuman Dia bertambah. Dia harus menyapu lapangan bola yang kotornya luar biasa dan bukan hanya itu, ukuran luasnya yang super.
Dengan tampang pasrah disapunya lapangan dan kali ini dia tak lagi melamun. Namun baru setengah lapangan tenaganya terkuras habis, dia bermaksud berhenti sejenak untuk istirahat. Diselonjorkannya kaki di hamparan rumput, diusapnya keringat di wajahnya dengan telapak tangan yang merah.
“Ini,” seru seseorang di sampingnya menyodorkan sapu tangan.
Dengan segera dia menoleh arah sapu tangan itu berada. Dilihatnya perlahan dari tangan yang memegang sapu tangan, lengan yang memakai kaos putih hingga senyum yang tak sedikitpun berubah. Dia tersenyum lebar merasa tak percaya bahwa itu kenyataan. Dicubitnya pipinya dan, “Aw.. sakit.”
“Ciluk… ba,” kata orang itu, “Rajin amat, sayang, sampe nyapu lapangan.”
“Ini kamu bukan sih, mas?” tanya Dia memastikan.
“Iya, sayangku, cintaku. Nih, minum!” jawab Miko gemas lalu diambilnya sapu dan disapunya lapangan.
“Mas, kamu mau ngapain?” tanya Dia bermaksud mencegah.
“Udah! Diaku yang cantik, duduk manis disitu biar abang Miko yang nyapu nih lapangan,” kata Miko.
Dipandangnya Miko yang masih menyapu dengan kaku. Miko sembari bertingkah aneh dengan sapu yang dipegangnya hingga membuat Dia tertawa lepas. Rasa lelah, rindu, galau, semuanya terasa lenyap. Beban berat yang Dia pikul seolah terasa ringan. Hahaha..
3 tahun berlalu..
Sayang, abang sudah ada di depan rumahmu, sms Miko membangkitkan Dia dari depan laptopnya. Dia sekarang adalah mahasiswa Universitas Negeri di Pamekasan jurusan Sastra Jepang semester 5. Dan Miko adalah mahasiswa lulusan Kedokteran Hewan di IPB.
Dibukanya pintu perlahan sambil ditatapnya wajah dibalik tirai gorden putih transparan.
“Assalamu’alaikum,” salam Miko.
“Wa’alaikumsalam,” jawab Dia. “Kapan balik, mas? Kenapa nggak bilang-bilang?” tanya Dia.
“Suprise..,” jawab Miko cengar-cengir.
Mendadak wajah Dia murung. Sepertinya ada yang akan Dia sampaikan kepada Miko. Dia masih bingung dari mana dia harus memulai. Diremas-remas tangannya sesekali digigit bibirnya. Akhirnya diapun bersua, “Mas, aku dapat beasiswa di Jepang, bulan depan aku berangkat.”
“Benarkah, sayang? Aku bangga sama kamu. Selamat iya, sayang,” tukas Mika binar.
Dia tak menyangka Miko akan berespon seperti itu. 4 tahun Miko hijrah ke Bogor yang membuat mereka hanya dapat bertemu satu bulan sekali dan sekarang Dia harus studi ke Jepang selama 2 tahun. Beraneka macam pikiran menguak dalam pikiran Dia.
“Sayang, kenapa melamun? Aku ingin mengatakan sesuatu,” kata Miko.
“Apa?” tanya Dia.
“Aku mendapat tawaran bekerja di rumah sakit di Jepang,” jawabnya dengan senyum lebar, “dan kita bisa bersama seperti 4 tahun silam.”
Mereka bercanda, tertawa bahagia, mengingat masa-masa saat lugu di putih abu-abu dulu.
2 tahun di Jepang dan Dia sudah lulus studinya, 2 minggu lagi Dia akan meninggalkan Tokyo.
Pagi yang sejuk, mentari masih malu-malu untuk menampakkan diri. Di beranda lantai 2 kosan Dia menikmati dengan penuh bahagia. Pagi ini pagi spesial di bulan ini karena sakura berwarna pink. Bunga sakura tidaklah lama berkembang terus, cepat sekali bungannya runtuh dan berganti daun yang baru bersemi lagi. Orang jepang aan merayakannya yang biasa disebut Hanami. Hanami dapat diartikan dengan melihat atau memandang bunga. Indahnya kota Tokyo dengan hamparan pink.
“Assalamu’alaikum.. Sayang… Sini!” teriak Miko di lantai bawah.
“Wassaamu’alaikum,” aku jawab salamnya dan segera turun menemui Miko.
Kita jalan-jalan menelusuri indahnya hamparan pink Tokyo. Miko berlelucon menggunakan Bahasa Indonesia dan mereka tertawa terkikik sementara pejalan kaki yang lain memandangi mereka dengan tatapan aneh.
Setiap pagi Dia dan Miko memang selalu menjadi pusat perhatian. Saat berkomunikasi maupun bertemu mereka selalu menggunakan bahasa asalnya, mungkin sudah terlalu cinta dan rindu dengan Indonesia.
“Biarin deh mereka bingung! Jepang milik kita berdua,” tukas Miko kepada Dia.
Di taman kota yang bernuansa pink dan super romantis disana Dia dan Miko duduk di sebuah kursi besi yang berat berwarna coklat.
“Wah, bagus ya, mas,” kata Dia kagum sembari melihat disekelilingnya.
“Dia, sayang..,” panggil Miko dengan nada serius.
“Iya. Apa, mas?” sahutnya.
“Ma’afkan aku harus mengatakannya sekarang dan di tempat ini,” kata Miko serentak mengacaukan pikiran Dia.
“Memang, mas, mau bilang apa?” tanya Dia dengan kebingungannya.
“Em.. em… em…,” jawab Miko tersendat-sendat, “Sepertinya cerita ini harus berakhir,” lanjut Miko dengan wajah layu.
“Cerita? Yang mana?” tanya Dia semakin tak mengerti. “Tentang kita,” lanjutnya,
“Masudnya pu…tus?” tanya Dia dengan nada pelan.
Miko mengangguk.
Anggukan itu sontak membuat jiwa dan raga Dia rapuh, hatinya hancur berkeping-keping, dunia seolah berhenti berputar. Dirabanya dadanya, detak jantung yang kacau balau. Cerita yang dirajutnya sejak 10 tahun silam akan berakhir pilu dan membekaskan luka teramat da…. lam.
“Aku mencintai seorang wanita, aku sangat menyayanginya, ibuku telah melamarnya untukku. Dan aku ingin mengakhiri hubungan kita karena aku akan segera menikah,” tambah Miko, yang membuat Dia benar-benar terluka.
Bagaimanapun Dia hanyalah seorang wanita, dari matanya mengalir air, kecewa.
“Baiklah. Semoga pilihanmu tepat. Jangan sakiti dia! Semoga kamu bahagia,” katanya tersengal-sengal dan air matanya terus mengalir bagai hujan deras. “Ma’af, aku harus pergi!” Dia berlari menjauh dari Miko.
“Dia, tunggu! Jangan pergi! Sayang, berhenti!” panggil Miko mengejarnya.
Dia mendengar panggilan Miko namun kali ini suaranya seperti pisau yang siap mengiris-iris, mengoyak-ngoyak, mencincang-cincang perasaanya. Cekukan tangisnya semakin keras.
Miko terus mengejar dan meminta Dia berhenti namun dihiraukan. Akhirnya Miko berhasil meraih Dia lalu segera dipeluknya. Dia yang tak berdaya mencoba melepaskan diri dari dekapan Miko, dipukulnya Miko semampu Dia bisa. Seerat mungkin didekapnya Dia didadanya.
“Kamu tahu wanita itu siapa?” tanya Miko.
Dia tak menjawab, dia hanya menangis semakin kencang.
“Wanita itu kamu. Aku ingin cerita pacaran kita berakhir karena aku ingin kita menikah, memulai cerita baru yang lebih indah,” tukas Miko.
Dia tak menjawab, Dia masih terus menangis.
“Kenapa masih nangis aja? Cengeng!!! Katanya udah gede?” ledek Miko.
“Jahat!” jawab Dia.
“Ma’af iya, sayang,” kata Miko.
“Kakiku jangan di injak!” pinta Dia.
Dengan segera Miko memindahkan kakinya, “Wuahhha… kenapa baru bilang?”
Merekapun kembali ke Indonesia dan menikah. Teman-teman SMP dan Pak Rohim serta guru SMA mereka datang, teman kuliah mereka, rekan kerja mereka, dan semua keluarga besar. Semua orang turut bahagia.
5 tahun berlalu…
Sekarang mereka liburan ke Jepang sembari bernostalgia. Mereka dikaruniai seorang putri, namanya Iveni. Iveni berumur 4 tahun. Iveni cantik seperti mamanya. Mereka bertiga menikmati hangatnya kebersamaan di taman kota Tokyo. Tempat bersejarah untuk Dia dan Miko. Keluarga kecil yang bahagia sedang menikmati Hanami, bunga sakura.
Cerpen Karangan: Fani Desy Lestary