Buliran air menetes satu per satu terjun melewati ujung daun karena
hujan telah cukup lama membasahi dunia ini. Langit masih kelabu dan
kemungkinan akan hujan lagi, Ahh, rasanya tak mungkin. Karena hujan
telah turun selama 3 jam.
Semenjak hari yang sangat kelam itu, aku masih terpuruk dalam keadaan
yang selalu membuatku tercekat dan sesak nafas. Saat kata-kata itu
terlontarankan dari mulutnya. “Maaf aku tak bisa melanjutkan hubungan
ini!” Karena apa? Kau tak boleh langsung pergi! Kau harus menjelaskan
padaku! Jangan membuat aku bingung! Tapi, apalah usahaku. TAK MUNGKIN
BERHASIL.
Aku masih duduk menatap suasana luar dari sebuah jendela kayu
kamarku. Sebenarnya aku tak melihat pemandangan itu. Pandanganku hanya
KOSONG. Aku masih memikirkan kejadian itu. Kenapa aku tak bisa
melupakannya? Apa aku terlalu mengharapkannya? Dina ayo move on dari
dia!!! Kamu gak boleh mengharapkannya!!! Hanya ucapan itu yang sejenak
menyemangatiku.
Lamunan itu telah hancur, karena terasakan olehku tepukan tangan yang
menepukkan ke bahuku secara perlahan. Aku mendongak dan menatapnya.
Orang itu tersenyum ke arahku. Wajahku yang sembab dan air mata itu
masih sedikit mengalir. Aku langsung mengusapkannya dengan tanganku.
Orang itu merangkulku. Terasa hangat dan sangat hangat. Andaikan dia
yang sekarang memelukku?.
“Din, kamu gak boleh sedih terus kayak gini. Kamu harus bisa move on
dari dia!” ucap Orang itu yang aku anggap sebagai sahabatku. Keke.
“Tapi, pikiranku masih terus mengingatkanku padanya. Aku belum bisa!” ucapku sembari terisak lagi.
“Kamu pasti bisa. Percayalah padaku!” Ucap Keke meyakinkanku.
—
Hari ini aku mencoba untuk memulai hari-hariku lagi. Hari-hari yang
dulu aku aku jalani sebelum ada kehadiran lelaki itu dalam hidupku. Rasa
perih dalam hati ini masih sangat terasakan. Sebenarnya aku tak kuasa
untuk menahannya. Tapi, aku harus kuat! Aku tak boleh terlalu lemah!
Kaki ini menuntunku berjalan menyusiri koridor sekolahan. Sejenak aku
memalingkan pandanganku ke arah lapangan basket itu. Tapi, dimana dia?
Aku tak melihatnya. Aku mohon kau jangan sembunyi! Walau hati ini masih
terasa tersayat, aku masih sanggup untuk melihatmu. Aku mohon
tampakkanlah wajahmu!
Wajahku masih terlihat suram, Aku berjalan gontai masuk ke dalam
kelas. Aku duduk melamun, dan menyendiri. Itulah yang aku lakukan
disana. Keke menghampiriku dan duduk di sampingku.
“Din, apa kamu benar-benar sudah sanggup untuk kembali menjalani hidup ini?”
“Aku sanggup bagaimana pun ini adalah jalan hidupku. Aku tak boleh
terpuruk disini. Aku harus bisa bertahan walau tanpa kehadirannya.”
Pelajaran hari ini sudah dimulai. Aku tak bisa menangkap satupun
pelajaran yang diberikan. Otakku sudah penuh tentang kenangan-kenangan
bersamanya. Waktu perlahan terus berjalan tapi, pikiranku masih berhenti
dalam suatu kejadian yang sampai saat ini masih membuatku
bertanya-tanya.
FLASH BACK ON
Matahari sudah muncul mengantikan rembulan. Semakin tinggi, semakin
tinggi. Aku masih duduk di depan meja belajarku menatap sebuah ponsel
yang aku tunggu-tunggu untuk berbunyi. Kenapa sampai saat ini dia belum
meneleponku? Biasanya jam segini dia sudah menanyakan padaku. Sudah
makan belum? Lagi apa? Aku sangat merindukan pertanyaan-pertanyaan itu.
DRRTTT… DDDRRRTT…
Ponselku bergetar! Aku langsung bergegas meraihnya dan mengangkatnya.
Aku melihat layar ponselku dan ternyata benar dia meneleponku! Seketika
itu hatiku yang penuh dengan penantian, berubah menjadi berbunga-bunga.
“Halo,”
“Nanti sore kamu ada acara?”
“Tidak, emangnya kenapa?”
“Aku mau ketemu kamu di tempat pertama aku menyatakan cintaku padamu.”
—
Senja, Awan berwarna oranye dan sinar matahari yang mulai meredup.
Itulah penggambaranku tentang keadaan sore ini. Aku berjalan ke arah
lapangan bola basket sekolahku tempat dimana aku dan dia menyatakan
cinta. Aku melihat sosoknya. Sosok yang membuatku tekagum-kagum padanya.
Dia berdiri disana! Mengenakan kaos putih dan celana jeans panjang
hitam. Aku menghampiri sosok itu.
“Panji, kamu udah nunggu lama?” Tanya ku.
Panji adalah panggilan pasangan hidupku itu. Panji Dhewa Saputra. Ia
tak menjawab apa-apa dia langsung memegang erat kedua tanganku itu. Aku
dan dia saling bertatapan. Tapi, pandangannya terhadapku aneh, tak
seperti biasanya. Panji menghembuskan nafas perlahan.
“Din, Maaf aku tak bisa melanjutkan hubungan ini!” ucapnya
Waktu terasa berhenti berjalan, jantungku berhenti berdetak, nafasku
tercekat, Aku melepaskan genggamannya dan berlari tanpa arah Air mataku
terus menetes seiring aku berlari. Aku masih Tak percaya? Kenapa dia tak
mengejarku? Apa dia sudah tak mencintaiku? Aku berharap dia mengejarku
dan menjelaskan semua alasanya. Tapi, TIDAK!. Dia tak mengejarku sama
sekali!
FLASH BACK OFF
Matahari sudah berada di atas kepala. Bel pulang sekolah juga sudah
berbunyi. Biasanya dia menjemputkku disini. Tapi semua itu hanya
kenangan. Aku mulai menitikkan air mata mengingat kenangan itu lagi. Aku
masih belum sanggup.
—
Hari minggu ini masih terasa hampa tanpa kehadirannya. Aku masih
belum bisa move on dari darinya. Mungkin dengan rencanaku ini aku bisa
melupakannya dan mencari penggantinya. Aku sibuk membereskan
barang-barangku dan memasukkannya dalam sebuah koper besar. Keke hanya
melihatiku.
“Din, apa keputusanmu sudah bulat untuk meninggalkan kota Jakarta ini?”
“Aku yakin, aku harus move on dari dia. Kalau aku disini aku takkan bisa melupakannya.”
“Kamu gak bawa foto, Panji?”
“Untuk apa? Aku mau benar-benar move on!”
Aku menarik koper besar itu keluar dari rumah besarku. Aku membuka
pintu mobil itu. Terlihat sebuah bayangan kecil sosok Panji disana. Aku
coba menghampirinya perlahan ke arah sosok itu.
“Panji?”
Wajah itu menoleh ke arahku. Iya benar itu Panji. Tapi kenapa dia
mengacuhkanku? Kenapa dia juga tiba-tiba datang kesini. Aku masih
berkutat dalam pertanyaan-pertanyaan itu. Setelah aku tersadar kembali
sosok Panji sudah hilang entah kemana. Apakah itu benar-benar Panji atau
hanya sebuah ilusi?
Aku kembali berjalan mendekati mobil yang membawaku ke luar kota. Aku
memeluk erat sahabatku tanda perpisahan. Tapi, sahabatku itu masih
terheran-heran perilaku ku tadi.
“Din, tadi ngapain kamu kesana?”
“Oh bukan apa-apa tak usah dipikirkan. Tolong jangan pernah lupakan
aku karena kamu adalah sahabat terbaik yang pernah aku miliki. Suatu
saat nanti aku pasti kembali kesini.
—
Kota Solo adalah kota pilihanku saat ini, untuk menghilangkan
kenangan-kenangan bersama Panji. Udaranya sangat sejuk, suasana tenang.
Aku berharap aku bisa perlahan melupakan kenangan itu. Banyak
orang-orang baru yang kutemui dan orang itu asing semua dan mulai detik
ini aku mencoba untuk sedikit demi sedikit kenangan tentangnya.
—
Jangan sembunyi
Ku mohon padamu jangan sembunyi
Sembunyi dari apa yang terjadi
Tak seharusnya hatimu kau kunci
Bertanya, cobalah bertanya pada semua
Di sini ku coba untuk bertahan
Ungkapkan semua yang ku rasakan
Kau acuhkan aku, kau diamkan aku
Kau tinggalkan aku
Lumpuhkanlah ingatanku, hapuskan tentang dia
Ku ingin ku lupakannya
Jangan sembunyi
Ku mohon padamu jangan sembunyi
Sembunyi dari apa yang terjadi
Tak seharusnya hatimu kau kunci
Lumpuhkanlah ingatanku, hapuskan tentang dia
Hapuskan memoriku tentang dia
Hilangkanlah ingatanku jika itu tentang dia
Ku ingin ku lupakannya
Lumpuhkanlah ingatanku, hapuskan tentang dia
Hapuskan memoriku tentang dia
Hilangkanlah ingatanku jika itu tentang dia
Ku ingin ku lupakannya
Lumpuhkanlah ingatanku, hapuskan tentang dia
Ku ingin ku lupakannya
Kau acuhkan aku, kau diamkan aku
Kau tinggalkan aku
—
2 tahun telah berlalu, itulah waktu yang aku gunakan untuk
melupakannya. Tapi, itu semua tak berhasil ingatanku tentang dia masih
terekam jelas dalam pikiranku. Apakah dia begitu penting dalam hidupku?
Aku kangen dengan suasana Jakarta yang sangat berbeda seperti disini,
Aku ingin kesana. Tapi, itu artinya aku harus rela ingat dengan
memoriku kembali. Tapi mungkin tak sesakit dulu.
Perjalanan panjang telah ku tempuh menuju kota Jakarta. Suasana ramai
dan panas inilah yang aku rindukan. Kemacetan yang terus merajalela
juga masih terlihat. Tidak ada yang berubah selama 2 tahun ini. Begitu
juga perasaanku padanya. Aku rindu dengan rumahku, sekolahku dan
tentunya ‘DIA’ .
Mobil yang membawaku ke Jakarta sudah tepat berhenti di depan rumah.
Keke juga sudah tampak berdiri disana. Aku menghampirinya dan memeluk
erat tubuh Keke. Perlahan Keke melepaskan pelukan itu.
“Din, apa kamu sudah bisa melupakan nya?”
“Masih belum.” ucapku sambil menampakkan wajah yang masam
“Setelah 2 tahun kau meninggalkan kota Jakarta ini, kamu belum bisa melupakannya?”
“Iya. Aku mau masuk ke dalam. Aku capek.”
—
Senja…
Saat matahari mulai membenamkan wajahnya
Digantikan oleh bulan yang menyinari Jagat raya
Aku masih ingat tentang semua kenangan
Kenangan kita bersama
Disini..
Di lapangan basket ini
Setelah 2 tahun aku berusaha
Melupakanmu
Tapi, hasilnya tetap nihil
Memori itu sudah mendaging dalam otakku
Kini aku sadar hanya kamu
Yang dapat mengisi hatiku
Dan tak ada orang lain yang dapat menembusnya.
Aku duduk terdiam di pinggiran lapangan basket ini. Kenangan itu
masih terekam jelas. Aku masih mengharapkanmu hadir mengisi hari-hariku.
Aku sadar kalau hanya kamu yang dapat mewarnai hariku. Aku mohon
kembalilah padaku. Aku tak bisa hidup tanpamu.
Aku merasakan sebuah tepukan mendarat di bahuku. Aku mendongak dan
menatapnya. Aku benar-benar tak percaya! Sekarang dia benar benar ada di
sampingku. Aku melihat wajahnya. Dia tersenyum padaku! Senyuman itu
membuatku terhibur, tenang dan air mataku mulai mengering di gantikan
oleh sebuah senyuman.
“Din, kamu jangan nangis, kamu gak boleh nangis!”
“Panji?”
Hanya kata-kata itu yang dapat terucap dalam bibirku. Reflek aku
langsung merangkul Panji disana. Panji membalasnya. Hatiku tenang,
nyawaku hidup kembali, kehidupanku kembali!!
“Din, maafkan aku, aku telah membuatmu tersiksa. Maafkan aku telah
memutuskanmu waktu itu. Sebenarnya aku hanya ingin intropeksi diri dan
mengujimu. Apakah aku pantas ada di sisimu? dan apakah kamu akan cepat
mendapatkan penggantiku? Ternyata tidak kau masih mengharapkanku. Aku
juga masih cinta sama kamu. Aku tak rela untuk melepasmu lagi.”
“Aku juga mencintaimu, Panji.” ucapku lirih dalam pelukan Panji.
THE END
Cerpen Karangan: Diana Kusuma Astuti