Kamis, 07 April 2016

Contoh Program Interpolation Search

Contoh Program Interpolation Search menggunakan bahasa pemrograman C++

#include <iostream>
#include <conio.h>
#include <iomanip>

 using namespace std;

 int main() {

 int cari_data, posisi, awal, akhir, proses;
 int data[5] = {1,3,5,7,9};

 bool berhenti = false;

 cout<<"Data: ";
 for(int y = 0; y<5; y++)
 cout<<setw(3)<<data[y];
 cout<<endl<<endl;

 cout << "Data yang dicari adalah : ";
 cin >> cari_data;
proses = 0;
 awal = 0;
 akhir = 6;


 while(berhenti != true) {
 proses++;
 posisi =
(((cari_data-data[awal])*(akhir-awal))/(data[akhir]-data[awal])+awal);

 if(data[posisi] == cari_data) {
 cout << "Data " << cari_data << " pada posisi indeks ke-" << posisi <<endl;
 cout << "Proses pencarian sebanyak " << proses <<endl;
 berhenti = true;}

  else if(data[posisi] < cari_data) {
 awal = posisi + 1;}

 else {
     cout << "Data " << cari_data << " Data tidak ditemukan.\n";
 berhenti = true;}}

 return 0;
 }

 adapun contoh lebih jelasnya bisa di buka di :

contoh pemrograman interpolation searsch

mungkin sekian penjabaran mengenai  Interpolation Search yang bisa saya sampaikan pada kesempatan ini.
Terimakasih




Contoh Program Interpolation Search

Analisis Program :
 - Pada program di atas kita dapat mempelajari mengenai Interpolation Search, dimana pada data program di atas melakukan sebuah pencarian pada data angka t=yang telah tertera atau telah di input di dalam program, lalu program akan mengakses pencarian data yang ingin di cari oleh pengguna lalu menampilkan letak dari angka tersebut seperti penjabaran di bawah ini.

gambar di atas adalah gambar program pertama  kali di jalankan di mana data angka sudah di tampilkan,
 saya akan mencontohkan mencari angka 3 maka setelah di enter program akan melakukan pencarian dan menghasilkan gambar seperti di bawah ini

bila mana data yang kita cari tida tertera pada program maka akan tampil pemberitahuan hasil seperti berikut ini



Mungkin sekian penjelasan yang bisa saya jabarkan mengenai  Interpolation Search.

Minggu, 19 Oktober 2014

Rabu, 14 Agustus 2013

Aku Selalu di Ujung Sini

Aku menempati kursi penonton terdepan namun berada di paling ujung. Selalu. Agar kedua mata yang banyak orang menyebutnya belok ini tetap dapat melihat dengan utuh potongan tubuh atletisnya dengan semua lincah gerak sepersekian detik saat berhasil mengembalikan smash keras dari lawan. Pemandangan favoritku. Tapi kadang pandangan indah itu sering terganggu oleh lalu lalang para official tim yang memang berada tepat lurus menyerongiku. Malah kadang mereka mengganggu pandangan indahku saat ia berada di momen momen penting. Seperti saat tahun lalu ketika aku gagal merekam adegan sujud syukurnya atas kemenangan yang ia raih. Aku melewatkan peristiwa itu ketika lagi-lagi para official tim berhamburan lari hendak memeluknya. Lalu setelahnya, aku hanya bisa merengek menyesalinya untuk setiap pertandingan-pertandingan selanjutnya. Selalu berdoa penuh was was agar adegan itu dapat kembali terulang tanpa aku harus melewatkannya lagi.
“Nar, ayolah buat apa kita bayar mahal mahal untuk nonton pertandingan dia kalau cuma buat duduk di paling ujung sini? Nanggung.” Rena, satu-satunya pendamping setiaku dalam melewati ritual ini – mulai berorasi. Seperti biasa. Selalu ogah-ogahan untuk menaruh pantatnya saat lagi lagi aku memilih kursi paling ujung.
Aku hanya senyum simpul, menimpalinya. Juga seperti biasa. “Nggak pa-palah Ren, dari sini kan juga masih kelihatan.”
“Kelihatan apanya? Kelihatan tu punggung orang tua bangka?”
Aku menyahutnya masih dengan sebuah senyuman. Hanya senyuman. Aku paling tidak bisa untuk banyak bicara jika itu menyangkut dengan perasaanku. Perasaan? Ya, pertandingan ini sangat erat hubungannya dengan sesuatu yang entah apa namanya selalu menjalar di perasaanku. Sesuatu yang selalu aku coba untuk menyembunyikannya rapat-rapat. Untuk kunikmati sendiri.
“Sinar, kali ini aja gue mohon loe jawab pertanyaan gue. Apa bedanya sih duduk di tengah sana sama duduk di sini? Kalo memang loe suka sama dia, harusnya loe lebih berani dong buat deketin diri loe kesana.” Rena tidak mau kalah. Selalu saja ia menghujaniku dengan pertanyaan serupa. Lalu aku lagi lagi hanya menyengir. Membuatnya terlihat geram di sepanjang pertandingan.
Rena tidak tahu. Rena tidak tahu betapa aku tidak hanya mengidolakannya. Bukan juga sekedar menyukainya, menyerukan namanya, mengagung-agungkannya seperti yang kebanyakan wanita lakukan di kerumunan ini. Aku tidak sesederhana itu.
Nama Guntur jauh lebih dulu mengawang di pikiranku, menggetarkan gendang-gendang di telingaku sebelum begitu di sorak-sorakkan di gedung ini. Aku jauh lebih lama mengenalnya dibandingkan wanita-wanita yang tidak tahu menahu itu.
Hidupku berdampingan dengan hidupnya sejak kami masih sama sama kecil. Dari dulu, aku sudah terbiasa melihat peraduannya dengan kok. Aku begitu hafal lekukan lekukan tangannya dalam mengendalikan raket. Aku menjadi salah satu penonton setianya saat ia selalu meramaikan sore dengan pertandingan antar kampung. Dan seperti sekarang ini, aku selalu menikmati aksinya dengan caraku sendiri. Dengan caraku yang tidak banyak bicara di ujung gang. Dari sinilah, sesuatu itu perlahan-lahan mulai tumbuh. Menjalari perasaanku. Yang bahkan sampai sekarang aku tidak bisa mendeskripsikan apa nama “sesuatu” itu.
Guntur mengenalku. Bahkan ia pernah suatu hari memintaku untuk mengajarinya pelajaran matematika dengan belajar kelompok bersamanya. Tapi aku menolak. Selalu menolak. Meski masih di usia anak-anak, nyatanya aku sudah tahu apa yang harus aku lakukan terhadapnya. Terhadap seorang calon superstar yang jika aku berada sedikit saja di dekatnya itu bisa membuatku tak henti-hentinya bermimpi. Bermimpi terhadap sesuatu yang pada akhirnya aku yakin akan membuatku jatuh.
Itu filosofi yang sampai sekarang masih terus kugunakan. Yang tidak akan pernah dimengerti oleh Rena atau siapapun. Filosofi jika aku berada di dekatnya itu sama artinya dengan membiarkanku dengan bahayanya terbang bersama kedua tongkat penyangga ini ke alam mimpi. Alam mimpi seorang lelaki tampan nyaris sempurna yang tidak layak diselami oleh gadis cacat sepertiku. Terlalu beresiko untuk jatuh dan sakit. Aku tidak siap untuk itu. Jadi selamanya aku hanya akan di ujung sini. Menikmati perasaan ini. Dengan caraku sendiri.
“Service oper, 20-16.”
“In-do-ne-sia!!!”

Back To You

Buliran air menetes satu per satu terjun melewati ujung daun karena hujan telah cukup lama membasahi dunia ini. Langit masih kelabu dan kemungkinan akan hujan lagi, Ahh, rasanya tak mungkin. Karena hujan telah turun selama 3 jam.
Semenjak hari yang sangat kelam itu, aku masih terpuruk dalam keadaan yang selalu membuatku tercekat dan sesak nafas. Saat kata-kata itu terlontarankan dari mulutnya. “Maaf aku tak bisa melanjutkan hubungan ini!” Karena apa? Kau tak boleh langsung pergi! Kau harus menjelaskan padaku! Jangan membuat aku bingung! Tapi, apalah usahaku. TAK MUNGKIN BERHASIL.
Aku masih duduk menatap suasana luar dari sebuah jendela kayu kamarku. Sebenarnya aku tak melihat pemandangan itu. Pandanganku hanya KOSONG. Aku masih memikirkan kejadian itu. Kenapa aku tak bisa melupakannya? Apa aku terlalu mengharapkannya? Dina ayo move on dari dia!!! Kamu gak boleh mengharapkannya!!! Hanya ucapan itu yang sejenak menyemangatiku.
Lamunan itu telah hancur, karena terasakan olehku tepukan tangan yang menepukkan ke bahuku secara perlahan. Aku mendongak dan menatapnya. Orang itu tersenyum ke arahku. Wajahku yang sembab dan air mata itu masih sedikit mengalir. Aku langsung mengusapkannya dengan tanganku. Orang itu merangkulku. Terasa hangat dan sangat hangat. Andaikan dia yang sekarang memelukku?.
“Din, kamu gak boleh sedih terus kayak gini. Kamu harus bisa move on dari dia!” ucap Orang itu yang aku anggap sebagai sahabatku. Keke.
“Tapi, pikiranku masih terus mengingatkanku padanya. Aku belum bisa!” ucapku sembari terisak lagi.
“Kamu pasti bisa. Percayalah padaku!” Ucap Keke meyakinkanku.

Hari ini aku mencoba untuk memulai hari-hariku lagi. Hari-hari yang dulu aku aku jalani sebelum ada kehadiran lelaki itu dalam hidupku. Rasa perih dalam hati ini masih sangat terasakan. Sebenarnya aku tak kuasa untuk menahannya. Tapi, aku harus kuat! Aku tak boleh terlalu lemah!
Kaki ini menuntunku berjalan menyusiri koridor sekolahan. Sejenak aku memalingkan pandanganku ke arah lapangan basket itu. Tapi, dimana dia? Aku tak melihatnya. Aku mohon kau jangan sembunyi! Walau hati ini masih terasa tersayat, aku masih sanggup untuk melihatmu. Aku mohon tampakkanlah wajahmu!
Wajahku masih terlihat suram, Aku berjalan gontai masuk ke dalam kelas. Aku duduk melamun, dan menyendiri. Itulah yang aku lakukan disana. Keke menghampiriku dan duduk di sampingku.
“Din, apa kamu benar-benar sudah sanggup untuk kembali menjalani hidup ini?”
“Aku sanggup bagaimana pun ini adalah jalan hidupku. Aku tak boleh terpuruk disini. Aku harus bisa bertahan walau tanpa kehadirannya.”
Pelajaran hari ini sudah dimulai. Aku tak bisa menangkap satupun pelajaran yang diberikan. Otakku sudah penuh tentang kenangan-kenangan bersamanya. Waktu perlahan terus berjalan tapi, pikiranku masih berhenti dalam suatu kejadian yang sampai saat ini masih membuatku bertanya-tanya.
FLASH BACK ON
Matahari sudah muncul mengantikan rembulan. Semakin tinggi, semakin tinggi. Aku masih duduk di depan meja belajarku menatap sebuah ponsel yang aku tunggu-tunggu untuk berbunyi. Kenapa sampai saat ini dia belum meneleponku? Biasanya jam segini dia sudah menanyakan padaku. Sudah makan belum? Lagi apa? Aku sangat merindukan pertanyaan-pertanyaan itu.
DRRTTT… DDDRRRTT…
Ponselku bergetar! Aku langsung bergegas meraihnya dan mengangkatnya. Aku melihat layar ponselku dan ternyata benar dia meneleponku! Seketika itu hatiku yang penuh dengan penantian, berubah menjadi berbunga-bunga.
“Halo,”
“Nanti sore kamu ada acara?”
“Tidak, emangnya kenapa?”
“Aku mau ketemu kamu di tempat pertama aku menyatakan cintaku padamu.”

Senja, Awan berwarna oranye dan sinar matahari yang mulai meredup. Itulah penggambaranku tentang keadaan sore ini. Aku berjalan ke arah lapangan bola basket sekolahku tempat dimana aku dan dia menyatakan cinta. Aku melihat sosoknya. Sosok yang membuatku tekagum-kagum padanya. Dia berdiri disana! Mengenakan kaos putih dan celana jeans panjang hitam. Aku menghampiri sosok itu.
“Panji, kamu udah nunggu lama?” Tanya ku.
Panji adalah panggilan pasangan hidupku itu. Panji Dhewa Saputra. Ia tak menjawab apa-apa dia langsung memegang erat kedua tanganku itu. Aku dan dia saling bertatapan. Tapi, pandangannya terhadapku aneh, tak seperti biasanya. Panji menghembuskan nafas perlahan.
“Din, Maaf aku tak bisa melanjutkan hubungan ini!” ucapnya
Waktu terasa berhenti berjalan, jantungku berhenti berdetak, nafasku tercekat, Aku melepaskan genggamannya dan berlari tanpa arah Air mataku terus menetes seiring aku berlari. Aku masih Tak percaya? Kenapa dia tak mengejarku? Apa dia sudah tak mencintaiku? Aku berharap dia mengejarku dan menjelaskan semua alasanya. Tapi, TIDAK!. Dia tak mengejarku sama sekali!
FLASH BACK OFF
Matahari sudah berada di atas kepala. Bel pulang sekolah juga sudah berbunyi. Biasanya dia menjemputkku disini. Tapi semua itu hanya kenangan. Aku mulai menitikkan air mata mengingat kenangan itu lagi. Aku masih belum sanggup.

Hari minggu ini masih terasa hampa tanpa kehadirannya. Aku masih belum bisa move on dari darinya. Mungkin dengan rencanaku ini aku bisa melupakannya dan mencari penggantinya. Aku sibuk membereskan barang-barangku dan memasukkannya dalam sebuah koper besar. Keke hanya melihatiku.
“Din, apa keputusanmu sudah bulat untuk meninggalkan kota Jakarta ini?”
“Aku yakin, aku harus move on dari dia. Kalau aku disini aku takkan bisa melupakannya.”
“Kamu gak bawa foto, Panji?”
“Untuk apa? Aku mau benar-benar move on!”
Aku menarik koper besar itu keluar dari rumah besarku. Aku membuka pintu mobil itu. Terlihat sebuah bayangan kecil sosok Panji disana. Aku coba menghampirinya perlahan ke arah sosok itu.
“Panji?”
Wajah itu menoleh ke arahku. Iya benar itu Panji. Tapi kenapa dia mengacuhkanku? Kenapa dia juga tiba-tiba datang kesini. Aku masih berkutat dalam pertanyaan-pertanyaan itu. Setelah aku tersadar kembali sosok Panji sudah hilang entah kemana. Apakah itu benar-benar Panji atau hanya sebuah ilusi?
Aku kembali berjalan mendekati mobil yang membawaku ke luar kota. Aku memeluk erat sahabatku tanda perpisahan. Tapi, sahabatku itu masih terheran-heran perilaku ku tadi.
“Din, tadi ngapain kamu kesana?”
“Oh bukan apa-apa tak usah dipikirkan. Tolong jangan pernah lupakan aku karena kamu adalah sahabat terbaik yang pernah aku miliki. Suatu saat nanti aku pasti kembali kesini.

Kota Solo adalah kota pilihanku saat ini, untuk menghilangkan kenangan-kenangan bersama Panji. Udaranya sangat sejuk, suasana tenang. Aku berharap aku bisa perlahan melupakan kenangan itu. Banyak orang-orang baru yang kutemui dan orang itu asing semua dan mulai detik ini aku mencoba untuk sedikit demi sedikit kenangan tentangnya.

Jangan sembunyi
Ku mohon padamu jangan sembunyi
Sembunyi dari apa yang terjadi
Tak seharusnya hatimu kau kunci
Bertanya, cobalah bertanya pada semua
Di sini ku coba untuk bertahan
Ungkapkan semua yang ku rasakan
Kau acuhkan aku, kau diamkan aku
Kau tinggalkan aku
Lumpuhkanlah ingatanku, hapuskan tentang dia
Ku ingin ku lupakannya
Jangan sembunyi
Ku mohon padamu jangan sembunyi
Sembunyi dari apa yang terjadi
Tak seharusnya hatimu kau kunci
Lumpuhkanlah ingatanku, hapuskan tentang dia
Hapuskan memoriku tentang dia
Hilangkanlah ingatanku jika itu tentang dia
Ku ingin ku lupakannya
Lumpuhkanlah ingatanku, hapuskan tentang dia
Hapuskan memoriku tentang dia
Hilangkanlah ingatanku jika itu tentang dia
Ku ingin ku lupakannya
Lumpuhkanlah ingatanku, hapuskan tentang dia
Ku ingin ku lupakannya
Kau acuhkan aku, kau diamkan aku
Kau tinggalkan aku

2 tahun telah berlalu, itulah waktu yang aku gunakan untuk melupakannya. Tapi, itu semua tak berhasil ingatanku tentang dia masih terekam jelas dalam pikiranku. Apakah dia begitu penting dalam hidupku?
Aku kangen dengan suasana Jakarta yang sangat berbeda seperti disini, Aku ingin kesana. Tapi, itu artinya aku harus rela ingat dengan memoriku kembali. Tapi mungkin tak sesakit dulu.
Perjalanan panjang telah ku tempuh menuju kota Jakarta. Suasana ramai dan panas inilah yang aku rindukan. Kemacetan yang terus merajalela juga masih terlihat. Tidak ada yang berubah selama 2 tahun ini. Begitu juga perasaanku padanya. Aku rindu dengan rumahku, sekolahku dan tentunya ‘DIA’ .
Mobil yang membawaku ke Jakarta sudah tepat berhenti di depan rumah. Keke juga sudah tampak berdiri disana. Aku menghampirinya dan memeluk erat tubuh Keke. Perlahan Keke melepaskan pelukan itu.
“Din, apa kamu sudah bisa melupakan nya?”
“Masih belum.” ucapku sambil menampakkan wajah yang masam
“Setelah 2 tahun kau meninggalkan kota Jakarta ini, kamu belum bisa melupakannya?”
“Iya. Aku mau masuk ke dalam. Aku capek.”

Senja…
Saat matahari mulai membenamkan wajahnya
Digantikan oleh bulan yang menyinari Jagat raya
Aku masih ingat tentang semua kenangan
Kenangan kita bersama
Disini..
Di lapangan basket ini
Setelah 2 tahun aku berusaha
Melupakanmu
Tapi, hasilnya tetap nihil
Memori itu sudah mendaging dalam otakku
Kini aku sadar hanya kamu
Yang dapat mengisi hatiku
Dan tak ada orang lain yang dapat menembusnya.
Aku duduk terdiam di pinggiran lapangan basket ini. Kenangan itu masih terekam jelas. Aku masih mengharapkanmu hadir mengisi hari-hariku. Aku sadar kalau hanya kamu yang dapat mewarnai hariku. Aku mohon kembalilah padaku. Aku tak bisa hidup tanpamu.
Aku merasakan sebuah tepukan mendarat di bahuku. Aku mendongak dan menatapnya. Aku benar-benar tak percaya! Sekarang dia benar benar ada di sampingku. Aku melihat wajahnya. Dia tersenyum padaku! Senyuman itu membuatku terhibur, tenang dan air mataku mulai mengering di gantikan oleh sebuah senyuman.
“Din, kamu jangan nangis, kamu gak boleh nangis!”
“Panji?”
Hanya kata-kata itu yang dapat terucap dalam bibirku. Reflek aku langsung merangkul Panji disana. Panji membalasnya. Hatiku tenang, nyawaku hidup kembali, kehidupanku kembali!!
“Din, maafkan aku, aku telah membuatmu tersiksa. Maafkan aku telah memutuskanmu waktu itu. Sebenarnya aku hanya ingin intropeksi diri dan mengujimu. Apakah aku pantas ada di sisimu? dan apakah kamu akan cepat mendapatkan penggantiku? Ternyata tidak kau masih mengharapkanku. Aku juga masih cinta sama kamu. Aku tak rela untuk melepasmu lagi.”
“Aku juga mencintaimu, Panji.” ucapku lirih dalam pelukan Panji.
THE END
Cerpen Karangan: Diana Kusuma Astuti

Korban Cinta Pertama

Setiap orang menyebutku bodoh ketika mereka melihat bagaimana ku bertahan dengan kisah yang tiada jelasnya. 3 tahun bukanlah penantian yang berarti untuk usiaku yang belia ini, 17 tahun. Tarik ulur hati oleh sebuah pesan singkat di handphone yang kadang muncul kadang tidak, hanya seperti permainan belaka. Dramatikal kisahku yang terasa semakin memburuk dengan kabar yang mengatakan dia telah menyukai wanita lain baru-baru ini. Status sosial media yang selama ini menjadi sumber berita tentangnya, penuh dengan kalimat romantis olehnya. Bukan untukku, meski kuharap begitu, namun untuk wanita lain. Terasa bodoh ketika harus menangis melihat tulisan yang tiada bisa menyakiti itu. Lebih dari silet yang menyayat ternyata, meski hanya untaian kata.
Setiap hari, foto-foto mereka muncul di beranda ku. Seakan ingin berbicara, “ini dia yang kusayang bukan kamu..”. hanya tetesan air mata kepedihan yang menemaniku. Berlebihan memang, tapi aku hanya “korban cinta pertama.” Hai kamu tersangka, kembalikan hatiku! Berapa lama lagi kamu bermain dengan kerapuhannya. Hanya pekikan lirih dari perihnya keadaan yang menyelimuti. Penjarakan setiap gerak raga ini.
Di saat ku berusaha lepaskan borgol ini, aku hampir saja menyentuh pintu keluar menuju cerita baru, tapi aku ditarik lagi oleh sebuah pesan singkat yang sangat berarti untukku, “hy”. Namamu terdaftar di inbox-ku saat kau mengirimkan pesan itu kepadaku. Ada getar yang menggerakan organ dalamku, tepatnya hatiku. Dengan semangat dan tak ingin membuat kau menunggu, aku membalas, “hy juga.. apa kabar?” saat ku hendak mengirimnya, sesaat aku terhenyak oleh foto-foto di facebookmu yang sedang ku buka, kau sedang bersama wanita itu. Aku mencoba mengurung niatku, tapi aku gagal oleh hasrat yang ingin kembali membaca pesan balasanmu. Aku mengirimkan pesan itu. Aku terasa begitu bersemangat saat itu. Saat hpku bergetar, aku melihat segera mungkin. Ternyata pesan dari operator. Oke, aku tetap menunggu. Hingga tak sadar dalam penantian itu, aku tertidur. Tak terasa malam membangunkanku, aku kembali melihat handphone, namun inboxku tiada bertambah lagi. Dada begitu menyesak. Menangis pun tak ada air mata yang keluar.
Buku diary yang seolah menjadi saksi bisu setiap luka ini kembali aku adui. Ku ceritakan setiap senyum yang sempat terlukis ketika membaca pesannya dan juga perih yang tak terkatakan. Sampai kapan Tita kamu seperti ini. Aku terus berpikir tentang keadaanku sebelum mengenal dia, Rio. Orang yang membuatku tidak mengenal diriku yang dulu. Aku baik-baik saja. Bahkan sangat baik. Namun, entah apa yang ada dalam cinta pertama yang terus membelenggu pikiran dan hatiku yang seolah menjadi buta permanen selama 3 tahun. Cinta pertama yang dulu selalu aku dambakan. Aku bilang hidupku menjadi berwarna, aku bilang aku terlihat istimewa, namun aku lupa, bahwa itu hanya perasaanku saja. Cinta yang kuanggap indah, berwarna, semua hanya semu. Rio itu tidak pernah menanggapi rasa ku. Dia hanya mencoba bersikap wajar meresponiku. Namun, aku selalu berpikir positif dan menganggap dia menyukaiku. Kini aku tersadar. Perasaanku terlalu ikut campur hingga mematikan logikaku. Kini, korban cinta pertama seolah sebutan yang cukup dan tepat bagi hati yang masih berharap meski terus tak tertanggap. Perjalanan masih panjang untukku tetap bertahan. 3 tahun cukup untuk semua kebodohanku. Aku harus melepaskan predikat ini. Bebas dari cinta pertama yang hanya sebelah tangan.
Cerpen Karangan: Icetea